"12 Putusan MK Yang Menarik Perhatian Publik Di Tahun 2016
Kewenangan menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945, merupakan mahkota yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Tercatat, sejak Tahun 2913, sebanyak 1.032 perkara Pengujian Undang-Undang yang telah ditangani oleh MK dengan jumlah perkara yang telah diputus sebesar 954 perkara.
Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Ketua MK, Arief Hidayat (pada masa itu) dalam Konferensi Pers Akhir Tahun 2016 beberapa waktu lalu. Dalam menjalankan wewenang Pengujian Undang-Undang sepanjang 2016, terdapat 12 putusan MK yang dipandang menarik perhatian publik. Putusan-putusan tersebut antara lain :
1. Alat Berat Bukan Moda Transportasi
Melalui pengujian UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), para pemohon mempersoalkan penjelasan Ps.47 ayat (2) huruf e bagian c yang mengelompokkan alat berat sebagai kendaraan bermotor. Akibat klasifikasi ini, terdapat sejumlah konsekuensi antara lain, alat berat harus mengikuti uji tipe dan uji berkala serta memiliki perlengkapan kendaraan seperti halnya kendaraan bermotor.
Sebelumnya, Penjelasan Ps. 47 ayat (2) huruf e bagian c UU LLAJ berbunyi, "Yang dimaksud dengan "kendaraan khusus" adalah kendaraan bermotor yang dirancang khusus yang memiliki fungsi dan rancang bangun tertentu, antara lain: c. alat berat antara lain: buldozer, traktor, mesin gilas (stoomwaltz), forklift, loader, excavator, dan crane".
Mahkamah menilai rumusan Penjelasan Ps.47 ayat (2) huruf e bagian c UU LLAJ bukan norma hukum karena tidak berisi penilaian atau sikap yang harus dilakukan / tidak dilakukan atau larangan. Ketidakmandirian makna kalimat penjelasan pasal itu menegaskan posisinya bukan norma hukum, melainkan hanya bagian (struktur) pelengkap, uraian mengenai pengertian/definisi kendaraan khusus.
Penjelasan a quo bagi Mahkamah telah memunculkan norma hukum yang seolah-olah nyata (norma hukum bayangan) mengharuskan alat berat memenuhi syarat-syarat teknis kendaraan bermotor pada umumnya. Meski sama-sama berpenggerak motor, alat berat memiliki perbedaan teknis sangat mendasar dibandingkan dengan kendaraan bermotor lain yang dipergunakan di jalan raya sebagai sarana transportasi. Sehingga perbedaan ini cukup menjadi bukti bahwa alat berat tidak dapat disamakan dengan kendaraan bermotor, dan dalam Putusan No.3/PUU-XIII/2015 yang dibacakan pada tanggal 31 Maret 2016, MK menyatakan mengabulkan permohonan para pemohon.
2. Pengembang Wajib Fasilitasi Pembentukan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun
Pengembang Rumah Susun wajib memfasilitasi pembentukan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) belum sepenuhnya terjual. Ini merupakan poin utama dalam Putusan No.21/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian UU No.20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Pembentukan PPPSRS merupakan kewajiban bagi pemilik Sarusun yang apabila tidak dilaksanakan akan diancama dengan sanksi administratif yang jenisnya ditentukan dalam Ps.108 UU No.20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.
MK mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian, yang mana menyatakan Ps.75 ayat (1) UU Rumah Susun sepanjang frasa "Ps.59 ayat (2)" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai yang dimaksud dengan "masa transisi" dalam penjelasan Ps.59 ayat (1) tidak diartikan 1 tahun tanpa dikaitkan dengan belum terjualnya seluruh satuan rumah susun.
Ps.75 ayat (1) berbunyi : "Pelaku pembangunan wajib memfasilitasi terbentuknya PPPSRS paling lambat sebelum masa transisi sebagaimana dimaksud pada Ps.59 ayat (2) berakhir". Ps.59 ayat (2) menyebut "Masa transisi berakhir paling lama satu tahun sejak penyerahan pertama kali pemilik Sarusun".
Sebelumnya, pasal itu dinilai para Pemohon telah melemahkan posisi pemilik sarusun. Bagi para pemohon pembentukan PPPSRS tidak perlu difasilitiasi oleh pelaku pembangunan. Sebab, penyerahan kewajiban fasilitas pembentukan PPPSRS kepada pelaku justru menghambat dan menghalangi pemilik sarusun melaksanakan kewajibannya membentuk PPPSRS. Organisasi PPPSRS merupakan organ yang dibentuk untuk mengorganisir pengelolaan rumah susun yang meliputi kegiatan operasional pemeliharaan dan perawatan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Dengan adanya peran strategis dan nilai ekonomis yang dimiliki PPPSRS ini, para Pemohon takut developer Rusun akan memanfaatkan penguasaan atas PPPSRS untuk meraup keuntungan.
Namun dalam pertimbangannya, MK tidak sepenuhnya sependapat dengan para pemohon. Sebab, MK melihat ketidakpastian hukum yang dirasakan para pemohon bukan terjadi akibat adanya frasa "pelaku pembangunan" dalam Ps.75 ayat (1) UU Rusun yang diartikan pemohon sebagai selain Pemerintah. Menurut MK, ketidakpastian hukum tersebut terjadi akibat adanya pertentangan antara Ps.59 ayat (2) UU Rumah Susun dan Penjelasaannya dalam mendefinisikan pengertian "masa transisi" itu.
Dalam kondisi seperti tersebut di atas, MK menilai meski bukan pelaku pembangunan sarusun komersil, Pemerintah tetap harus turut bertanggung jawab untuk memfasilitasi pembentukan PPPSRS. Hal ini dilakukan oleh Pemerintah ketika telah terbukti pelaku pembangunan telah dengan sengaja menyalahartikan tafsir kata "memfasilitasi" dalam Ps.75 ayat (1) UU Rusun, sehingga pelaku pembangunan tidak lagi memfasilitasi pembentukan PPPSRS.
3. Jaksa Tidak Boleh PK
Jaksa / Penuntut Umum tidak dapat mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK). Sebab, falsafah yang mendasari PK adalah sebagai instrumen bagi perlindungan hak asasi terpidana. Sehingga, MK berpandangan bahwa pengajuan PK hanya dibatasi bagi terpidana atau ahli warisnya. Putusan ini tertuang dalam Putusan No.33/PUU-XIV/2016 Pengujian UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tanggal 12 Mei 2016.
Ps. 263 ayat (1) KUHAP berbunyi : "Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung".
Dalam putusannya, MK menegaskan rumusan Ps.263 ayat (1) KUHAP setidaknya memuat empat landasan pokok. Pertama, PK hanya diajukan terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Kedua, PK tidak dapat diajukan terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan. Ketiga, permohonan PK hanya dapat diajukan terpidana atau ahli warisnya. Keempat, PK hanya dapat diajukan terhadap putusan pemidanaan.
Esensi landasan filosofis lembaga PK ini ditujukan untuk kepentingan terpidana atau ahli warisnya sebagai bentuk perlindungan HAM, bukan kepentingan negara atau korban. Apabila esensi ini dihapus, tentu lembaga PK akan kehilangan maknanya dan tidak berarti. Lagipula, Putusan MK No.16/PUU-VI/2008 terkait pengujian UU Kekuasaan Kehakiman sudah disinggung Ps.263 ayat (1) KUHAP dianggap jelas bahwa pengajuan PK hak terpidana atau ahli warisnya, bukan hak JPU dalam perkara pidana. Jika JPU masih tetap diberikan hak mengajukan PK, padahal sudah diberi hak mengajukan upaya hukum biasa (banding dan kasasi), justru menimbulkan ketidakpastian hukum sekaligus tidak berkeadilan.
4. Pengajuan Grasi Tanpa Limitasi
Melihat adanya kemungkinan terjadinya kesalahan dalam sistem peradilan, lembaga grasi hadir sebagai solusi dalam rangka memberukan perlakuan manusiawi dan meluruskan proses hukum yang tidak benar. Sehingga, limitasi pengajuan grasi petensial menghilangkan hak konstitusional terpidana, khususnya terpidana mati. Hal ini yang menjadi pertimbangan MK dalam memutuskan pembatasan permohonan grasi dalam Ps.7 ayat (2) UU Grasi dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi. Hal ini tertuang dalam Putusan No.107/PUU-XIII/2015, pada 15 Juni 2016.
MK
menganggap, hak memberi grasi adalah Hak Konstitusional Presiden yang lazim
disebut hak prerogatif, yang atas kebaikan hatinya memberikan pengampunan
kepada warganya. Mengingat sifatnya yang demikian, pemberian grasi tergantung
Presiden mengabulkan atau tidak mengabulkan permohonan itu. Grasi ini sangat
penting dan tidak hanya untuk kepentingan terpidana, melainkan dapat juga untuk
kepentingan Negara terhadap besarnya beban politik yang ditanggung atas
penghukuman terpidana yang mungkin ada kaitannya dengan tekanan rezim
kekuasaan.
Grasi
juga dapat digunakan sebagai jalan keluar ketika seorang narapidana mengalami
keadaan yang sangat memilukan. Seperti, sakit keras, sakit tua, penyakit
menular yang tidak mungkin dapat bertahan hidup dalam lembaga pemasyarakatan,
atau terpidana menjadi gila, sehingga secara akal sehat dan pertimbangan
kemanusiaan haruslah diberi kesempatan secara hukum melalui pemberian grasi.
Menurut
MK, pembatasan jangka waktu pengajuan permohonan grasi dalam Ps.7 ayat (2) UU
Grasi potensial menghilangkan hak konstitusional terpidana, khususnya terpidana
mati mengajukan permohonan grasi. Meski begitu, guna mencegah terpidana atau
keluarganya menunda eksekusi seharusnya, jaksa sebagai eksekutor tidak terikat
pada tidak adanya jangka waktu tersebut. Apabila nyata-nyata terpidana atau
keluarganya tidak menggunakan hak pengajuan grasi, atau setelah jaksa demi
kepentingan kemanusiaan telah menanyakan kepada terpidana apakah terpidana atau
keluarganya akan menggunakan hak mengajukan permohonan grasi.
5. Calon Kepala Desa Tidak Terikat Syarat Domisili
Syarat
domisili mengebiri hak konstitusional warga untuk maju sebagai kepala desa. Pemilihan
Kepala Desa (Pilkades) termasuk dalam rezim hukum pemerintahan daerah yang
tidak mengenal syarat domisili. Sehingga menurut MK, pemilihan kepala desa dan
perangkat desa tidak perlu dibatasi dengan syarat domisili. MK dalam amar
putusannya No.128/PUU-XIII/2015 Pengujian UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa pada
23 Agustus 2016 menyatakan, ketentuan mengenai domisili dalam Ps.33 huruf g dan
Ps.50 ayat (1) huruf c UU Desa bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
berkekuatan hukum mengikat.
MK
menilai pemilihan kepada desa secara langsung oleh masyarakat desa dan
pengangkatan perangkat desa tanpa mensyaratkan harus berdomisili di desa
setempat bersesuaian dengan semangat Ps.28C ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya
dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa,
dan Negara”.
Menurut
MK, masyarakat perdesaan di Indonesia dapat dibedakan antara masyarakat desa
dan masyarakat adat. Status desa dalam UU Desa justru kembali dipertegas
sebagai bagian tak terpisahkan dari struktur organisasi pemerintahan daerah. Produk
peraturan desa pun ditegaskan sebagai bagian peraturan perundang-undangan yang
melaksanakan fungsi pemerintahan. Artinya, desa menjadi perpanjangan tangan
terbawah dari fungsi-fungsi pemerintahan Negara secara resmi.
6. Pengusaha Harus Membayar Penuh Upah Tertangguh
Selisih
upah minimum dengan pembayaran yang dilakukan oleh pengusaha selama masa
penangguhan, adalah hutang perusahaan yang harus dibayarkan. Penangguhan pembayaran
upah minimum sebagaimana diatur dalam Ps.90 ayat (2) UU No.13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan tidak serta merta menghilangkan kewajiban pengusaha
untuk membayar selisih upah minimum dengan pembayaran yang dilakukan oleh
pengusaha selama masa penangguhan.
Dalam
amar putusan yang dibacakan oleh Ketua Majelis MK, penjelasan Ps.90 ayat (2) UU
Ketenagakerjaan dinyatakan sepanjang frasa “…tetapi
tidak wajib membayar pemenuhan ketentuan upah minimum yang berlaku pada waktu
diberikan penangguhan” adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat. Artinya, MK memberi penegasan selisih
kekurangan pembayaran upah minimum tetap wajib dibayarkan pengusaha selama masa
penangguhan.
MK
menjelaskan dari sudut pandang pengusaha, penangguhan pembayaran upah minimum
memberi kesempatan kepada pengusaha untuk memenuhi kewajiban membayar upah
sesuai kemampuan pada kurun waktu tertentu. Sedangkan, dari sudut pandang
pekerja/buruh, penangguhan pembayaran upah minimum memberikan perlindungan
kepada pekerja/buruh untuk tetap bekerja pada perusahaan tersebut sekaligus
memberikan kepastian hukum mengenai keberlangsungan hubungan kerja.
Meski
begitu, penangguhan pembayaran upah minimum oleh pengusaha kepada pekerja/buruh
tidak serta merta menghilangkan kewajiban pengusaha untuk membayar selisih upah
minimum selama masa penangguhan. Karena itu, membayar upah lebih rendah dari
upah minimum merupakan bentuk
pelanggaran Ps.90 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Sebab, prinsipnya pembayaran
upah minimum oleh pengusaha adalah keharusan dan tidak dapat dikurangi. Pelanggaran
terhadap ketentuan tersebut merupakan tindak pidana kejahatan yang diancam
dengan pidana penjara dan/atau denda seperti diatur Ps.185 ayat (1) UU
Ketenagakerjaan.
7. Perjanjian Dapat Dilakukan Pada Masa Perkawinan
Perjanjian
perkawinan kini dapat dilakukan sebelum perkawinan (pra-nikah) atau selama
dalam ikatan perkawinan. Demikian putusan No.69/PUU-XIII/2015 Pengujian UU No.5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan UU No.1 Tahun 1974
tentang UU Perkawinan pada 27 Oktober 2016. Perjanjian perkawinan lazim dibuat
sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan. Faktanya ada fenomena suami
istri yang baru membuat perjanjian perkawinan selama dalam ikatan perkawinan.
MK
mengabulkan sebagian uji materi sejumlah pasal UU No.5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
MK hanya mengabulkan uji materi Ps.29 ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) UU
perkawinan. Sementara permohonan uji atas Ps.21 ayat (1), ayat (3), Ps.36 ayat (1)
UUPA dan Ps.35 ayat (1) UU perkawinan ditolak.
Dalam
amarnya, MK menyatakan Ps.29 ayat (1) UU perkawinan dinyatakan inkonstitusional
bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Pada
waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah
pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang
disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaries, setelah mana isinya
berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”.
Ps.29
ayat (3) UU perkawinan dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak
dimaknai “Perjanjian tersebut mulai
berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam
Perjanjian Perkawinan”. Sedangkan Ps.29 ayat (4) UU perkawinan dinyatakan
inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai
harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut,
kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut,
dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga”.
8. Petani Dapat Memuliakan Tanaman Tanpa Izin
Petani
kecil dapat melakukan pemuliaan tanaman untuk menemukan varietas unggul tanpa
perlu izin dari kementrian atau institusi lain yang terkait. Hal ini sesuai
dengan salah satu inti Putusan No.138/PUU-XIII/2015 Pengujian UU No.39 Tahun
2014 tentang Perkebunan, pada 27 Oktober 2016. Pemuliaan tanaman adalah
rangkaian kegiatan untuk mempertahankan kemurnian jenis dan/atau varietas yang
sudah ada atau menghasilkan jenis dan/atau varietas baru yang lebih baik.
Dalam
amar putusannya, MK menyatakan frasa “orang
perseorangan” dalam Ps.27 ayat (3) dan Ps.29 UU perkebunan inkonstitusional
bersyarat sepanjang dimaknai orang-perseorangan termasuk petani kecil. Salah pertimbangannya,
MK menyebut norma Ps.27 ayat (3) UU Perkebunan sama dengan substansi norma
dalam Ps.9 ayat (3) UU No.12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman yang
telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat berdasarkan putusan
No.99/PUU-X/2012.
Dalam
putusan tersebut, MK pada intinya mengakui hak perorangan petani kecil untuk
pemuliaan tanaman tanpa harus meminta izin. Berpegang Putusan No.99/PUU-X/2012,
MK pun menyatakan inkonstitusional bersyarat Ps.29 UU Perkebunan yang berbunyi “Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau
Pelaku Usaha Perkebunan dapat melakukan pemuliaan tanaman untuk menemukan
varietas unggul” sepanjang dimaknai “termasuk perorangan petani kecil”. Selain
itu, MK juga menyatakan inkonstitusional bersyarat Ps.30 ayat (1) UU Perkebunan
yang berbunyi “Varietas hasil pemuliaan
atau introduksi dari luar negeri sebelum diedarkan terlebih dahulu harus
dilepas oleh Pemerintah Pusat atau diluncurkan oleh pemilik varietas”
dimaknai tidak berlaku bagi varietas hasil pemuliaan yang dilakukan oleh
perorangan petani kecil dalam negeri untuk komunitas sendiri.
9. Hak Pilih Bagi Pengidap Gangguan Jiwa Non-Permanen
Pengidap
gangguan jiwa / gangguan ingatan memilik hak pilih dalam pemilihan umum,
sepanjang tidak mengidap gangguan jiwa permanen. Hal ini ditegaskan dalam putusan
No.135/PUU-XIII/2015 pada 13 Oktober 2016. Gangguan jiwa dan gangguan ingatan
masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda. Gangguan ingatan, adalah
masalah yang ditimbulkan oleh kemunduran atau penurunan kualitas fisik yaitu
otak sebagai wahana penyimpan dan pemroses memori.
Sedangkan
gangguan jiwa tidak selalu disebabkan oleh masalah penurunan kualitas fisik
belaka. Tanda baca “/” (garis miring) dalam frasa “gangguan jiwa/ingatan” yang
tercantum dalam Ps.57 ayat (3) huruf a UU Pilkada harus ditegaskan bukan dalam
konteks menyamakan antara gangguan jiwa dengan gangguan ingatan, tetapi adalah
pengelompokan dua kategori berupa gangguan jiwa dan gangguan ingatan sebagi
satu himpunan yang dikecualikan dari warga Negara yang berhak untuk didaftar
dalam daftar pemilih.
10. Penguasaan Negara Terhadap Listrik
Praktik
Unbundling dalam usaha penyediaan
tentang listrik untuk kepentingan umum merupakan praktik yang tidak dibenarkan
dan bertentangan dengan konstitusi. Hal ini senada dengan putusan
No.111/PUU-XIII/2015 ihwal pengujian UU No.30 Tahun 2009, pada 14 November
2016.
MK
telah memutus konstitusionalitas Ps.10 ayat (2) dan Ps.11 ayat (1) UU No.30
Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan terkait penyediaan tenaga listrik untuk
kepentingan umum. Melalui putusan tersebut, intinya kedua pasal tersebut
dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang usaha penyediaan tenaga listrik
untuk kepentingan umum tetap dalam kontrol / kendali Negara.
Praktik
Unbundling, bisnis listrik
terintegrasi dari pembangkit, distribusi hingga penjualan tenaga listrik kepada
masyarakat yang dilakukan PLN tidaklah bermasalah. Sebab, Pemerintah masih
memiliki kontrol terhadap usaha / proyek kelistrikan meski melibatkan peran
swasta. Perizinan regional wilayah usaha (pembangkit listrik) masih
berbeda-beda kebutuhan listriknya, dan hal ini yang masih menjadi persoalan. Hingga
saat ini, usaha transmisi tetap dilakukan PLN, karena swasta tidak ada yang
mau. Dengan adanya putusan MK tersebut di atas, justru menguatkan putusan MK
No.001-021-022/PUU-I/2013 yang intinya PLN tidak boleh diprivatisasi (oleh
swasta). Artinyal, PLN dalam rangka menjalankan tugas Negara dalam hal
penyediaan tenaga listrik kepada masyarakat.
MK
pun menegaskan bahwa MK tidak membatalkan Ps.10 ayat (2) dan Ps.11 ayat (1) UU
Ketenagalistrikan. Namun, MK hanya menyatakan kedua pasal tersebut
inkonstitusional secara bersyarat. Misalnya, Ps.10 ayat (2) inkonstitusional
apabila digunakan sebagai pembenaran praktik unbundling dalam penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum.
Ps. 11 ayat (1), MK menyatakan inkonstitusional secara bersyarat, apabila
ketentuan ini dimaknai sebagai dasar untuk menghilangkan prinsip “penguasaan
oleh Negara”.
11. Penyadapan Seizin Aparat Berwenang
Kewenangan
penyadapan tidak dilakukan tanpa kontrol. Penegak hukum yang paling berwenang
memberi izin melakukan penyadapan adalah pengadilan atau pejabat yang diberikan
wewenang oleh UU (sesuai putusan No.20/PUU-XIV/2016).
Menurut
MK, penyadapan harus dalam rangka penegakan hukum dan dimintai oleh Kepolisian,
Kejaksaan, institusi hukum lainnya sebagaimana yang terdapat dalam UU. Frasa informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik tidak memiliki kekuatan hukum mengikat
terkecuali dalam rangka penegakan hukum yang diminta oleh kepolisian, kejaksaan
dan institusi penegak hukum lainnya.
Dalam
pertimbangannya, MK berpendapat bahwa penyadapan adalah kegiatan untuk merekam,
membelokan, mengubah, dan menghambat transmisi elektonik yang tidak bersifat publik,
baik melakukan kabel maupun nirkabel. Dalam konteks HAM semua penyadapan
dilarang khususnya untuk menjamin hak privasi yang dijamin dalam Ps.28 F UUD
1945. Selain itu, hakim menimbang bahwa penyadapan harus diatur secara
benar-benar agar tidak terjadi penyalahgunaan penyadapan yang dilakukan oleh
penegak hukum. Penyadapan hanya dapat dilakukan sebagai bagian dari unsur acara
pidana. Tindakan penyadapan adalah upaya paksa yang dilaksanakan berdasarkan UU
dan harus diatur acaranya formil untuk materiil. Bahkan dalam penegakan harus
dibatasi agar tidak dilakukan kesewenang-wenangan.
12. Konstitusionalitas UU Pengampunan Pajak
Salah
satu tujuan diberlakukannya kebijakan pengampunan pajak adalah untuk
merepatriasi dana yang ditempatkan warga Negara di luar negeri untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan putusan No.57/PUU-XIV/2014, MK
menilai terdapat alasan urgen dan mendasar bagi pembentuk UU untuk mengambil
kebijakan pengampunan pajak melalui pemberlakuan UU No.11 Tahun 2016. Hal ini
tidak lepas dari dampak krisis ekonomi global tahun 2008 yang berimbas pada
pelemahan ekonomi Negara di dunia, termasuk perekonomian Indonesia yang
mengalami perlambatan pertumbuhan.
Untuk
meningkatkan pemasukan Negara, maka pembentuk UU menempuh langkah khusus atau
terobosan dalam bentuk kebijakan pengampunan pajak yang hanya diberlakukan satu
kali dalam satu periode. Setelah periode itu berakhir akan diberlakukan
pengenaan tariff normal yang disertai langkah-langkah penegakan hukum normal. Tujuannya,
kebijakan ini untuk merepatriasi dana WNI di luar negeri untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi, meningkatkan basis data perpajakan nasional, dan meningkatkan
penerimaan pajak yang diperoleh dari uang tebusan. Sehingga secara prinsip,
esensi pengampunan pajak ini berupa pelepasan hak Negara untuk menagih pajak
yang seharusnya terutang atau mengenakan pajak dalam suatu periode tertentu,
dihubungkan tujuan diambilnya kebijakan itu, tidaklah bertentangan dengan UUD
1945.
Komentar
Posting Komentar