Langsung ke konten utama

PIDANA BERSYARAT (PIDANA PERCOBAAN) DAN VONIS HAKIM YANG LEBIH TINGGI DARI TUNTUTAN JAKSA



MENGENAL TENTANG PIDANA BERSYARAT (PIDANA PERCOBAAN) DAN JUGA TENTANG APAKAH VONIS HAKIM BOLEH LEBIH TINGGI DARI TUNTUTAN JAKSA ATAU TIDAK


Pengantar

Baru-baru ini, publik sempat dihebohkan dengan “skenario” dari persidangan Basuki Tjahja Purnama alias Ahok yang dipidana atas kasus penistaan agama dengan melanggar Ps. 156a KUHP, yakni secara sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama.

Namun yang hendak Penulis ulas dalam artikel ini, bukanlah mengenai teknis dari kasus Ahok maupun “skenario-skenario” dalam panggung politik tersebut. Akan tetapi, yang lebih menarik untuk dibahas adalah tentang apakah yang dimaksud dengan pidana bersyarat dan apakah vonis yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim boleh lebih tinggi atau tidak dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum.

Tentang Pidana Bersyarat

Seperti yang telah kita ketahui, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama alias Ahok divonis 2 tahun penjara karena terbukti melakukan penodaan agama. Putusan Majelis Hakim lebih berat dibanding tuntutan Jaksa, yakni 1 tahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun.

Pidana bersyarat sering disebut dengan putusan percobaan (voorwaardelijke veroordeling) dan bukan merupakan salah satu dari jenis pemidanaan karena tidak disebutkan dalam Ps.10 KUHP, tetapi ketentuan tentang pidana bersyarat masih terkait pada Ps.10 KUHP, khususnya pada pidana penjara dan kurungan yang keberlakuannya hanya pada batas satu tahun penjara atau kurungan.

Menurut E. Y. Kanter dan S. R. Sianturi (Azaz-Azaz Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, 2002, Storia Grafika) kata-kata pidana bersyarat atau pemidanaan bersyarat adalah : “Sekedar suatu istilah umum, sedangkan yang dimaksud bukanlah pemidanaannya yang bersyarat, melainkan pemidanaannya pidana itu yang digantungkan pada syarat-syarat tertentu”.

Pidana bersyarat, yang dalam praktik hukum sering juga disebut dengan pidana percobaan, adalah suatu sistem / model penjatuhan pidana oleh hakim yang pelaksanaannya digantungkan pada syarat-syarat tertentu. Artinya, pidana yang dijatuhkan oleh hakim itu ditetapkan tidak perlu dijalankan pada terpidana selama syarat-syarat yang ditentukan tidak dilanggarnya, dan pidana dapat dijalankan apabila syarat-syarat yang ditetapkan itu tidak ditaatinya atau dilanggarnya.

Selain itu, pidana bersyarat dapat disebut pula pemidanaan dengan perjanjian, yang artinya menjatuhkan pidana kepada seseorang, akan tetapi pidana ini tidak usah dijalani kecuali di kemudian hari ternyata bahwa terpidana sebelum habis tempo percobaan berbuat suatu tindak pidana lagi atau melanggar perjanjian yang diberikan kepadanya oleh hakim, jadi keputusan pidana tetap ada akan tetapi hanya pelaksanaan pidana itu tidak dilakukan.

Dasar Hukum Pidana Bersyarat

Di Indonesia sendiri untuk pertama kalinya diterapkan adanya pidana bersyarat pada tahun 1926 yang dituangkan dalam STB. 1926 No.251 Jo. 486, akan tetapi baru sejak 1 Januari 1927 dimasukkan ke dalam KUHP berupa ketentuan Ps.14a sampai 14f.
Dalam Ps.14a KUHP menentukan :
1.      Jika dijatuhkan hukuman penjara yang selama-lamanya satu tahun dan dijatuhkan hukuman kurungan diantaranya tidak termasuk hukuman kurungan pengganti denda, maka hakim boleh memerintahkan, bahwa hukuman itu tidak dijalankan kecuali kalau di kemudian hari ada perintah lain dalam keputusan hakim.
2.      Hakim juga mempunyai kewenangan seperti di atas, kecuali dalam perkara-perkara mengenai penghasilan dan persewaan Negara apabila menjatuhkan pidana denda, tetapi harus ternyata kepadanya bahwa pidana denda atau perampasan yang mungkin diperintahkan pula akan memberatkan terpidana.
3.      Jika hakim tidak menentukan lain, maka perintah mengenai pidana pokok juga mengenai pidana tambahan.
4.      Perintah tidak diberikan, kecuali hakim setelah menyelidiki dengan cermat berkeyakinan bahwa dapat diadakan pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya syarat umum, dan syarat khusus jika sekiranya diperlukan.
5.      Perintah tersebut dalam ayat (1) harus disertai hal-hal atau keadaan-keadaan yang menjadi alasan perintah itu.

Dalam Ps.14b KUHP menentukan :
1.      Masa percobaan bagi kejahatan dan pelanggaran dalam Ps. 492, 504, 505, 506, dan 536 KUHP paling lama tiga tahun dan bagi pelanggaran lainnya paling lama dua tahun.
2.      Masa percobaan dimulai pada saat putusan telah menjadi tetap dan telah diberitahukan kepada terpidana menurut cara yang ditentukan dalam UU.
3.      Masa percobaan tidak dihitung selama terpidana ditahan secara sah.

Dalam Ps.14c KUHP menentukan :
1.      Dengan perintah yang dimaksud Ps.14a, kecuali jika dijatuhkan pidana denda, selain menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana tindak pidana, hakim dapat menerapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek daripada masa percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tadi.
2.      Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara lebih dari tiga bulan atau pidana kurungan atas salah satu pelanggaran berdasarkan Ps. 492, 504, 505, 536, maka boleh diterapkan syarat-syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku terpidana yang harus dipenuhi selama masa percobaan atau selama sebagian dari masa percobaan.
3.      Syarat-syarat tersebut di atas tidak boleh mengurangi kemerdekaan beragama atau kemerdekaan berpolitik terpidana.

Dalam Ps.14d KUHP menentukan :
1.      Yang diserahi mengawasi supaya syarat-syarat dipenuhi ialah, pejabat yang berwenang menyuruh menjalankan putusan, jika kemudian ada perintah untuk menjalankan putusan.
2.      Jika ada alasan, hakim dapat memerintahkan lembaga yang berbentuk badan hukum dan berkedudukan di Indonesia, atau kepada pemimpin suatu rumah penampungan yang berkedudukan di situ, atau kepada pejabat tertentu, supaya memberi pertolongan atau bantuan kepada terpidana dalam memenuhi syarat-syarat khusus.
3.      Aturan lebih lanjut diatur dalam UU.

Dalam Ps.14e KUHP menentukan :
1.      Atas usul pejabat dalam ayat 1, atau atas permintaan terpidana, hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama, selama masa percobaan, dapat mengubah syarat-syarat khusus dalam masa percobaan.

Dalam Ps.14f KUHP menentukan :
1.      Tanpa mengurangi ketentuan pasal di atas, maka atas usul pejabat tersebut dalam pasal 14d ayat (1), hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama dapat memerintahkan supaya pidananya dijalankan, atau memerintahkan supaya atas namanya diberi peringatan pada terpidana, yaitu jika terpidana selama masa percobaan melakukan tindak pidana dan karenanya ada pemidanaan yang menjadi tetap, atau jika salah satu syarat lainnya tidak dipenuhi, ataupun jika terpidana sebelum masa percobaan habis dijatuhi pemidanaan yang menjadi tetap, karena melakukan tindak pidana selama masa percobaan mulai berlaku. Ketika memberi peringatan, hakim harus menentukan juga cara bagaimana memberikan peringatan itu.
2.      Setelah masa percobaan habis, perintah supaya pidana dijalankan tidak dapat diberikan lagi, kecuali jika sebelum masa percobaan habis, terpidana dituntut karena melakukan tindak pidana di dalam masa percobaan dan penuntutan itu kemudian berakhir dengan pemidanaan yang menjadi tetap.

Manfaat penjatuhan pidana bersyarat adalah memberikan kesempatan atau memperbaiki penjahat tanpa harus menjatuhkannya ke dalam penjara, artinya tanpa membuat derita bagi dirinya dan keluarganya, mengingat pergaulan di dalam penjara terbukti sering membawa pengaruh buruk bagi seorang terpidana, terutama bagi orang-orang yang melakukan tindak pidana karena dorongan faktor tertentu yang mana dia tidak mempunyai kemampuan untuk menguasai dirinya, dalam arti bukan penjahat sesungguhnya.

Syarat Pidana Bersyarat

Penjatuhan pidana bersyarat oleh hakim terhadap terdakwa harus memenuhi dua syarat yakni syarat umum dan syarat khusus.
a.       Persyaratan umum.
Syarat umum dalam putusan percobaan terhadap pidana bersyarat bersifat imperative, artinya bila hakim menjatuhkan pidana dengan bersyarat, dalam putusannya itu harus ditetapkan syarat umum. Dalam syarat umum harus ditetapkan oleh hakim bahwa dalam tenggang waktu tertentu atau masa percobaan terpidana tidak boleh melakukan tindak pidana (Ps. 14c ayat (1) KUHP).
b.      Persyaratan khusus.
Dalam persyaratan khusus akan ditentukan oleh hakim jika sekiranya syarat-syarat itu ada. Hakim boleh menentukan hal-hal berikut :
i.        Penggantian kerugian akibat yang ditimbulkan oleh dilakukannya tindak pidana baik seluruhnya maupun sebagian, yang harus dibayarnya dalam tenggang waktu yang ditetapkan oleh hakim yang lebih pendek dari masa percobaan.\
ii.      Dalam hal hakim menjatuhkan pidana penjara lebih dari tiga bulan atau pidana kurungan atas pelanggaran tertentu Ps. 492 KUHP, 504 KUHP, 505 KUHP, 506 KUHP, 536 KUHP, hakim dapat menetapkan syarat-syarat khusus yang berhubungan dengan kelakuan terpidana. Syarat-syarat khusus tersebut tidak diperkenankan sepanjang melanggar atau mengurangi hak-hak terpidana dalam hal berpolitik dan menjalankan agamanya.

Ulasan Tentang Vonis Hakim yang Melebihi Requisitoir JPU

Sebelum membahas lebih jauh, pertama-tama harus diingat dahulu secara normatif, bahwa tidak ada satu pasal pun di dalam KUHAP (UU No.8 Tahun 1981) yang mengharuskan hakim memutus pemidanaan sesuai rekuisitor penuntut umum. Hakim memiliki kebebasan untuk menentukan pemidanaan sesuai dengan pertimbangan hukum dan nuraninya.

Dengan demikian, sangat mungkin putusan hakim berbeda bentuk. Misalnya, hakim menjatuhkan putusan bebas (vrijspraak), atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging). Dalam hal pidana terbukti, vonis yang dijatuhkan hakim sangat mungkin lebih rendah atau lebih tinggi dari tuntutan Jaksa. Kalau lebih rendah dari tuntutan Jaksa, JPU biasanya punya standar. Kalau putusan hakim tidak sampai dua pertiga dari tuntutan, maka JPU wajib banding.

Selanjutnya, perlu juga dipahami tidak ada aturan KUHAP yang menyatakan tegas surat dakwaan jaksa sebagai dasar atau landasan pemeriksaan dalam forum persidangan. Hanya, Ps. 182 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP yang menyebut implisit majelis hakim menentukan putusan berdasarkan surat dakwaan. Dalam yurisprudensi juga dianut paham putusan pengadilan harus merujuk pada surat dakwaan. Misalnya putusan MA No. 68 K/Kr/1973 dan No. 47 K/Kr/1956, dua putusan yang lahir sebelum era KUHAP.

Berdasarkan ulasan Penulis di atas, maka Penulis berkesimpulan, bahwa putusan pemidanaan lebih tinggi dari tuntutan jaksa bisa berupa pidana penjara, pidana denda, uang pengganti, bahkan pidana pengganti. Sekalipun hakim menjatuhkan putusan lebih tinggi berdasarkan pertimbangan tertentu, putusan itu tidak melanggar KUHAP. Yang terlarang adalah jika hakim menjatuhkan vonis lebih tinggi dari ancaman maksimal yang ditentukan oleh UU. Terlarang juga menjatuhkan jenis pidana yang tidak ada dalam KUHP jika yang dipakai sebagai dasar adalah KUHAP.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SELAYAMG PANDANG TERHADAP CV (COMMANDITAIRE VENNOOTSCHAP)

PROSEDUR PENDIRIAN CV, SERTA AKIBAT HUKUM KEPADA SEKUTU AKTIF MAUPUN PASIF APABILA CV BERHADAPAN DENGAN HUKUM Selain Perseroan Terbatas, salah satu bentuk usaha yang banyak dibuat di Indonesia adalah CV. CV sendiri adalah singkatan dari Commanditaire Vennootschap . Seperti Perseroan Terbatas, pembuatan CV juga melalui beberapa mekanisme dan perjanjian, tetapi prosesnya lebih mudah jika dibandingkan dengan PT. CV yang dikenal juga dengan istilah Persekutuan Komanditer di Indonesia (Ps. 19 KUHD), merupakan persekutuan yang didirikan oleh satu atau beberapa orang untuk melakukan usaha di bidang yang telah disepakati. Dalam undang-undang dijelaskan jika pendirian CV didirikan oleh seorang atau lebih dimana satu orang bertindak sebagai pemimpin sementara pihak lainnya hanya sebagai penyimpan barang atau modal. CV terdiri dari sekutu aktif / komplementer dan sekutu pasif / komanditer yang perbedaan tanggung jawabnya adalah sebagai berikut : 1.       Sekutu aktif be

PERKARA TUN YANG KANDAS DI DISMISSAL PROCESS

BANYAK PERKARA TUN YANG KANDAS DI DISMISSAL PROCESS KARENA KETIDAK TAHUAN ATAU KEKELIRUAN PARA ADVOKAT / PENGGUGAT Membawa sengketa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tidak selalu berjalan mulus. Ada proses yang harus pertama kali dilewati oleh setiap penggugat yang mendaftarkan perkaranyadi PTUN. Yakni, tahap pemeriksaan persiapan (administrasi) atau dismissal process . Tidak sedikit gugatan tata usaha Negara justru berhenti di tahap ini. Sepanjang catur wulan pertama 2010, PTUN Jakarta mencatat delapan perkara yang kandas pada dismissal process . Rinciannya, empat perkara pada Januari, dua perkara pada Februari, dan masing-masing satu perkara pada Maret dan April. Perkara pajak dan merek termasuk yang terhambat pada tahap ini. Pada dasarnya, dismissal process adalah kewenangan Ketua Pengadilan (PTUN) yang diberikan oleh undang-undang untuk menyeleksi perkara-perkara yang dianggap tidak layak untuk disidangkan oleh majelis. Pasalnya, apabila perkara tersebut

SURAT KETERANGAN KEPEMILIKAN TANAH ATAU SKT

PROSEDUR MENGURUS SURAT KETERANGAN KEPEMILIKAN TANAH ATAU SKT Surat Kepemilikan Tanah (SKT) pada dasarnya menegaskan mengenai riwayat tanah. Surat keterangan riwayat tanah tersebut merupakan salah satu alat bukti tertulis untuk menunjukkan kepemilikan tanah guna kepentingan proses pendaftaran tanah. Secara eksplisit, memang tidak diatur mengenai tata cara untuk memperoleh SKT dalam PP No.24 Tahun 1997. Namun, SKT tidak diperlukan lagi sebagai salah satu syarat dalam pendaftaran tanah. Menurut Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (pada saat itu, Ferry Mursyidan Baldan), Surat Kepemilikan Tanah itu sebetulnya menegaskan riwayat tanah. SKT di perkotaan tidak dibutuhkan lagi menjadi syarat mengurus sertifikat tanah. Surat keterangan riwayat tanah tersebut merupakan salah satu alat bukti tertulis untuk menunjukkan kepemilikan tanah. Bukti kepemilikan itu pada dasarnya terdiri dari bukti kepemilikan atas nama pemegang hak pada waktu berlakunya UU No.5