Langsung ke konten utama

MODAL PT

PERBEDAAN MODAL DASAR, MODAL DITEMPATKAN, DAN MODAL DISETOR PT




Istilah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor itu dikenal dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT).

Modal Dasar

Modal dasar adalah seluruh nilai nominal saham perseroan yang disebut dalam Anggaran Dasar. Modal dasar perseroan pada prinsipnya merupakan total jumlah saham yang dapat diterbitkan oleh perseroan. Anggaran Dasar sendiri yang menentukan berapa jumlah saham yang dijadikan modal dasar. Jumlah yang ditentukan dalam Anggaran Dasar merupakan nilai nominal yang murni.

Mengenai modal dasar Perseroan Terbatas, Ps. 32 UU PT mengatur sebagai berikut:
1.      Modal dasar Perseroan paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
2.      Undang-undang yang mengatur kegiatan usaha tertentu dapat menentukan jumlah minimum modal perseroan yang lebih besar daripada ketentuan modal dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3.      Perubahan besarnya modal dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Sejalan dengan pengaturan perubahan modal dasar pada Ps. 32 ayat (2) UU PT di atas, modal dasar PT yang awalnya ditetapkan sebesar Rp. 50 juta ini kemudian diubah melalui PP No.29 Tahun 2016 tentang Perubahan Modal Dasar Perseroan Terbatas. Di dalam PP tersebut, mengatur bahwa besaran modal dasar PT ini ditentukan berdasarkan kesepakatan para pendiri  Perseroan Terbatas. Ini berarti, tidak ditetapkan lagi modal dasar minimum sebuah PT. Akan tetapi, PT yang melaksanakan kegiatan usaha tertentu, besaran minimum modal dasar PT harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Modal Ditempatkan

Modal ditempatkan adalah jumlah saham yang sudah diambil pendiri atau pemegang saham, dan saham yang diambil tersebut ada yang sudah dibayar  dan ada yang belum dibayar. Jadi, modal ditempatkan itu adalah modal yang disanggupi pendiri atau pemegang saham untuk dilunasinya, dan saham itu telah diserahkan kepadanya untuk dimiliki.

Modal Disetor

Sedangkan, modal disetor adalah modal yang sudah dimasukkan pemegang saham sebagai pelunasan pembayaran saham yang diambilnya sebagai modal yang ditempatkan dari modal dasar perseroan. Jadi, modal disetor adalah saham yang telah dibayar penuh oleh pemegang atau pemiliknya.

Mengenai modal ditempatkan dan modal disetor, diatur dalam Ps. 33 UU PT sebagai berikut:
1.      Paling sedikit 25% dari modal dasar sebagaimana dimaksud dalam Ps. 32 harus ditempatkan dan disetor penuh.
2.      Modal ditempatkan dan disetor penuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan bukti penyetoran yang sah.
3.      Pengeluaran saham lebih lanjut yang dilakukan setiap kali untuk menambah modal yang ditempatkan harus disetor penuh.

Jadi, paling sedikit 25% dari modal dasar harus:
a.       Telah ditempatkan, dan
b.      Telah disetor penuh pada saat pendirian perseroan.

Sebagai ilustrasi, Penulis mencoba memberikan contoh sebagai berikut:

A dan B sebagai pendiri PT X telah menyepakati modal dasar PT X adalah Rp. 150 juta yang terbagi atas 1000 lembar saham, masing-masing saham bernilai nominal Rp. 150 rb. Dari jumlah Rp. 150 juta tersebut, kemudian A dan B ternyata menyanggupi mengambil sebagian saja, misalnya total saham yang diambil A dan B adalah Rp. 100 juta, maka nilai Rp. 100 juta tersebut merupakan modal ditempatkan yang harus disetor penuh.

Sedangkan, sisa Rp. 50 juta yang belum diambil bagiannya itu disebut saham portefel. Saham portefel menurut Yahya adalah saham yang “belum dikeluarkan” atau “belum ditempatkan”. Setiap saat saham portefel dapat dikeluarkan untuk menambah modal ditempatkan yang harus disetor penuh, tidak boleh mengangsur.

Maka dari itu, modal ditempatkan adalah sebesar Rp. 100 juta. Bila A dan B telah melakukan penyetoran, misalnya sebesar Rp. 37.500.000, berarti ada sisa yang belum dilunasi, yakni sebesar Rp. 62.500.000. sesuai konsep modal disetor, seluruh saham yang diambil bagian oleh A dan B (modal ditempatkan) harus sudah dilunasi pembayarannya. Jadi, sisa Rp. 62.500.000 itu harus sudah dilunasi saat pendirian PT. Hal ini juga terkait dengan ketentuan tidak dimungkinkan penyetoran atas saham dengan cara  mengangsur. Sehingga sebelum pendirian PT dilakukan, semua modal yang ditempatkan harus sudah disetor penuh.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SELAYAMG PANDANG TERHADAP CV (COMMANDITAIRE VENNOOTSCHAP)

PROSEDUR PENDIRIAN CV, SERTA AKIBAT HUKUM KEPADA SEKUTU AKTIF MAUPUN PASIF APABILA CV BERHADAPAN DENGAN HUKUM Selain Perseroan Terbatas, salah satu bentuk usaha yang banyak dibuat di Indonesia adalah CV. CV sendiri adalah singkatan dari Commanditaire Vennootschap . Seperti Perseroan Terbatas, pembuatan CV juga melalui beberapa mekanisme dan perjanjian, tetapi prosesnya lebih mudah jika dibandingkan dengan PT. CV yang dikenal juga dengan istilah Persekutuan Komanditer di Indonesia (Ps. 19 KUHD), merupakan persekutuan yang didirikan oleh satu atau beberapa orang untuk melakukan usaha di bidang yang telah disepakati. Dalam undang-undang dijelaskan jika pendirian CV didirikan oleh seorang atau lebih dimana satu orang bertindak sebagai pemimpin sementara pihak lainnya hanya sebagai penyimpan barang atau modal. CV terdiri dari sekutu aktif / komplementer dan sekutu pasif / komanditer yang perbedaan tanggung jawabnya adalah sebagai berikut : 1.       Sekutu aktif be

PERKARA TUN YANG KANDAS DI DISMISSAL PROCESS

BANYAK PERKARA TUN YANG KANDAS DI DISMISSAL PROCESS KARENA KETIDAK TAHUAN ATAU KEKELIRUAN PARA ADVOKAT / PENGGUGAT Membawa sengketa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tidak selalu berjalan mulus. Ada proses yang harus pertama kali dilewati oleh setiap penggugat yang mendaftarkan perkaranyadi PTUN. Yakni, tahap pemeriksaan persiapan (administrasi) atau dismissal process . Tidak sedikit gugatan tata usaha Negara justru berhenti di tahap ini. Sepanjang catur wulan pertama 2010, PTUN Jakarta mencatat delapan perkara yang kandas pada dismissal process . Rinciannya, empat perkara pada Januari, dua perkara pada Februari, dan masing-masing satu perkara pada Maret dan April. Perkara pajak dan merek termasuk yang terhambat pada tahap ini. Pada dasarnya, dismissal process adalah kewenangan Ketua Pengadilan (PTUN) yang diberikan oleh undang-undang untuk menyeleksi perkara-perkara yang dianggap tidak layak untuk disidangkan oleh majelis. Pasalnya, apabila perkara tersebut

SURAT KETERANGAN KEPEMILIKAN TANAH ATAU SKT

PROSEDUR MENGURUS SURAT KETERANGAN KEPEMILIKAN TANAH ATAU SKT Surat Kepemilikan Tanah (SKT) pada dasarnya menegaskan mengenai riwayat tanah. Surat keterangan riwayat tanah tersebut merupakan salah satu alat bukti tertulis untuk menunjukkan kepemilikan tanah guna kepentingan proses pendaftaran tanah. Secara eksplisit, memang tidak diatur mengenai tata cara untuk memperoleh SKT dalam PP No.24 Tahun 1997. Namun, SKT tidak diperlukan lagi sebagai salah satu syarat dalam pendaftaran tanah. Menurut Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (pada saat itu, Ferry Mursyidan Baldan), Surat Kepemilikan Tanah itu sebetulnya menegaskan riwayat tanah. SKT di perkotaan tidak dibutuhkan lagi menjadi syarat mengurus sertifikat tanah. Surat keterangan riwayat tanah tersebut merupakan salah satu alat bukti tertulis untuk menunjukkan kepemilikan tanah. Bukti kepemilikan itu pada dasarnya terdiri dari bukti kepemilikan atas nama pemegang hak pada waktu berlakunya UU No.5