HAK AHLI WARIS ATAS KEUNTUNGAN DARI PENJUALAN TANAH
Nilai Pengalihan
Hak atas Tanah
Dalam
jual beli tanah tidak ada patokan harga jual beli yang harus diikuti. Pemilik tanah
bebas menjual tanahnya dengan harga berapapun. Sebagai contoh, pemilik tanah
dapat menjual tanahnya tidak dengan harga seharusnya atau harga pasar. Hal ini
dapat dilihat dari ketentuan mengenai “nilai pengalihan hak atas tanah” terkait
Pajak Penghasilan dalam Ps.2 ayat (2) PP No.34 Tahun 2016 tentang PPh atas
Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian
Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya sebagai
berikut :
Ps.2 PP 34 /
2016
1.
Besarnya Pajak
Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana
dimaksud dalam Ps.1 ayat (1) huruf a adalah sebesar :
a.
2,5% (dua koma
lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan selain pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa Rumah
Sederhana atau Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha
pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
b.
1% (satu persen)
dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa
Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang
usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
c.
0% (nol persen)
atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah, badan usaha
milik Negara yang mendapat penugasan khusus dari Pemerintah, atau badan usaha
milik daerah yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah, sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum.
2.
Nilai pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
a.
Nilai berdasarkan
keputusan pejabat yang berwenang, dalam hal pengalihan hak kepada pemerintah.
b.
Nilai menurut
risalah lelang, dalam hal pengalihan hak sesuai dengan peraturan lelang (Vendu
Reglement Staatsblad Tahun 1908 No.189 beserta perubahannya).
c.
Nilai yang
seharusnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan dilakukan melalui jual beli yang dipengaruhi hubungan
istimewa, selain pengalihan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan hurub b.
d.
Nilai yang
sesungguhnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan dilakukan melalui jual beli yang tidak dipengaruhi hubungan
istimewa, selain pengalihan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b.
e.
Nilai yang
seharusnya diterima atau diperoleh berdasarkan harga pasar, dalam hal
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui tukar-menukar,
pelepasan hak, penyerahan hak, hibah, waris, atau cara lain yang disepakati
antara para pihak.
Pada
umumnya dalam penjualan harta berupa tanah dan/atau bangunan, nilai penjualan
bagi pihak penjual adalah nilai yang sesungguhnya diterima atau nilai
berdasarkan transaksi yang sebenarnya. Dalam hal penjualan harta berupa tanah
dan/atau bangunan dipengaruhi oleh hubungan istimewa, nilai penjualan bagi
pihak penjual adalah nilai yang seharusnya diterima berdasarkan harga pasar
yang wajar atau berdasarkan penilaian oleh penilai independen. Adanya hubungan
istimewa antara pembeli dan penjual dapat menyebabkan harga penjualan menjadi
lebih besar atau lebih kecil dibandingkan dengan jika penjualan tersebut tidak
dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Oleh karena itu dalam ketentuan ini diatur
bahwa nilai penjualan harta berupa tanah dan/atau bangunan bagi penjual adalah
jumlah yang seharusnya diterima.
Dari
penjelasan di atas, dapat kita lihat bahwa harga penjualan tanah ditentukan
bebas oleh si penjual tanah. Bisa mengikuti nilai yang seharusnya diterima
berdasarkan harga pasar yang wajar atau di bawahnya. Akan tetapi, PP 34/2016
telah mengatur ketentuan nilai mana yang digunakan sebagai dasar PPh.
Jual Beli Tanah
Jual
beli tanah antara pihak pertama dengan pihak kedua selaku pembeli mengakibatkan
hak atas tanah tersebut beralih menjadi milik si pembeli. Ini berarti bahwa
pihak pertama tidak lagi berhak atas tanah tersebut meskipun tanah yang menjadi
obyek jual beli merupakan tanah warisan, dan antara pihak pertama dengan pihak
kedua memiliki hubungan saudara.
Ini
karena berdasarkan Ps.5 UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, hukum agrarian yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat, sepanjang
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara. Dalam hukum adat,
jual beli tanah itu bersifat terang dan tunai. Terang itu berarti jual beli
tersebut dilakukan di hadapan pejabat umum yang berwenang, dalam hal ini PPAT. Sedangkan,
yang dimaksud dengan tunai adalah hak milik beralih ketika jual beli tanah
tersebut dilakukan dan jual beli selesai pada saat itu juga.
Sehingga
karena tanah tersebut, telah menjadi milik si pembeli, maka pihak pertama tidak
memiliki hak apapun atas tanah tersebut. Termasuk tidak mempunyai hak untuk
meminta keuntungan dari penjualan tanah antara si pembeli dengan pihak lain. Keuntungan
tersebut secara hukum, sepenuhnya adalah milik si pembeli sebagai pemilik tanah
tersebut.
Komentar
Posting Komentar