Langsung ke konten utama

TANAH WARISAN

AKIBAT HUKUM TERHADAP PROSES JUAL BELI TANAH WARISAN TANPA PERSETUJUAN DARI AHLI WARIS



Perlu diketahui bahwa dalam jual beli tanah, perbuatan hukum jual beli tersebut dilakukan dengan dibuatnya akta PPAT, sebagaimana diatur dalam Ps.2 PP No.37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT dan Ps.95 ayat (1) huruf a Permen Agraria / Kepala BPN No.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Akta PPAT tersebut adalah bukti adanya peralihan hak atas tanah karena jual beli tersebut.

Dalam proses transaksi jual beli tanah, PPAT akan meminta dokumen-dokumen sebagai berikut :
1.      Data Tanah :
a.       PBB asli 5 tahun terakhir berikut Surat Tanda Terima Setoran (bukti bayar).
b.      Sertifikat Asli Tanah.
c.       Asli Izin Mendirikan Bangunan (IMB) – (optional).
d.      Bukti pembayaran rekening listrik, telepon, air (bila ada).
e.       Sertifikat hak tanggungan jika masih dibebani hak tanggungan.
2.      Data Penjual dan Pembeli :
a.       Fotokopi KTP suami/istri Penjual dan Pembeli.
b.      Fotokopi KK dan Akta Nikah.
c.       Fotokopi NPWP Penjual dan Pembeli.

Dibutuhkan data diri penjual karena pada dasarnya pihak yang dapat menjual suatu benda (menjual merupakan tindakan kepemilikan) adalah orang yang memiliki hak milik atas benda tersebut.

Hal senada juga ditegaskan oleh Prof. Subekti, S.H. dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata (hal.69), yaitu bahwa eigendom (hak milik) adalah hak yang paling sempurna atas suatu benda. Orang yang mempunyai hak milik atas suatu benda dapat berbuat apa saja dengan benda itu (menjual, menggadaikan, memberikan, bahkan merusak), asal saja ia tidak melanggar undang-undang atau hak orang lain.

Hal ini juga didukung oleh Ps.1471 KUHPer yang berbicara mengenai jual beli, yang secara implisit mempersyaratkan bahwa penjual haruslah pemilik dari barang yang dijual :
Jual beli atas barang orang lain adalah batal dan dapat memberikan dasar kepada pembeli untuk menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga, jika ia tidak mengetahui bahwa barang itu kepunyaan orang lain”.

Dalam hal ini, apabila tanah tersebut dijual setelah menjadi tanah warisan, maka yang memiliki hak milik atas tanah tersebut adalah para ahli waris sebagaimana diatur dalam Ps.833 ayat (1) jo. Ps.832 ayat (1) KUHPer:

Ps.833 ayat (1) KUHPer:
Para ahli waris, dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak milik atas semua barang, semua hak dan semua piutang orang yang meninggal.

Ps.832 ayat (1) KUHPer
Menurut undang-undang, yang berhak menjadi ahli waris adalah keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar perkawinan, dan suami atau isteri yang hidup terlama, menurut peraturan berikut ini.

Oleh karena itu, sudah seharusnya jual beli tanah warisan ini wajib disetujui oleh semua ahli waris sebagai pihak yang mendapatkan hak milik atas tanah tersebut akibat pewarisan. Penulis berpendapat, jika ingin melakukan penjualan atau hendak diagunkan ke bank, maka seluruh ahli waris yang ada wajib hadir untuk memberikan persetujuan. Dalam hal salah seorang ahli waris tidak bisa hadir di hadapan PPAT, maka ahli waris tersebut dapat membuat surat persetujuan di bawah tangan yang dilegalisir notaris setempat atau dibuat surat persetujuan dalam bentuk akta notaris.

Apabila jual beli tanah tersebut telah terjadi dan tanpa tanda tangan salah seorang ahli waris yang mana sebagai pemiliknya, maka tanah tersebut dijual oleh orang yang tidak berhak untuk menjualnya. Oleh karena itu, berdasarkan Ps.1471 KUHPer di atas, jual beli tersebut adalah batal. Dengan batalnya jual beli tersebut, maka jual beli tersebut dianggap tidak pernah ada, dan masing-masing pihak dikembalikan ke keadaannya semula sebelum terjadi peristiwa jual beli tersebut, yang mana hak milik atas tanah tetap berada pada ahli waris.

Langkah Hukum yang Dapat Diambil

Para ahli waris yang merasa haknya dilanggar karena tanah milik mereka dijual tanpa persetujuan dari mereka, dapat melakukan gugatan perdata atas dasar perbuatan melawan hukum, sebagaimana diatur dalam Ps.1365 KUHPer, yang berbunyi:
Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut”.

Unsur-unsur perbuatan melawan hukum dalam Ps.1365 KUHPer adalah sebagai berikut:
a.       Harus ada perbuatan (positif maupun negatif).
b.      Perbuatan itu harus melawan hukum.
c.       Ada kerugian.
d.      Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian.
e.       Ada kesalahan.

Yang termasuk ke dalam perbuatan melawan hukum itu sendiri adalah perbuatan-perbuatan yang :
1.      Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku.
2.      Melanggar hak subjektif orang lain.
3.      Melanggar kaidah tata susila.
4.      Bertentangan dengan asas kepatutan ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain.
Dalam hal ini, perbuatan orang yang menjual tanah para ahli waris tanpa persetujuan semua ahli waris merupakan perbuatan yang melanggar hak subjektif para ahli waris. Untuk dapat menggugat penjual tanah tersebut atas dasar perbuatan melawan hukum, maka harus dapat dibuktikan bahwa orang yang hendak digugat memenuhi semua unsur-unsur perbuatan melawan hukum sebagaimana Penulis sebutkan di atas.

Hal ini didukung juga dengan adanya Ps.834 KUHPer, yang memberikan hak kepada ahli waris untuk memajukan gugatan guna memperjuangkan hak warisnya terhadap orang-orang yang menguasai seluruh atau sebagian harta peninggalan, baik orang tersebut menguasai atas dasar hak yang sama atau tanpa dasar sesuatu hak pun atas harta peninggalan tersebut. Hal ini disebut dengan hereditas petitio.

Ps.1365 KUHPer jo. Ps.834 KUHPer telah memberikan ahli waris dasar untuk meminta kembali tanah warisan tersebut. Para ahli waris dapat memajukan gugatan untuk meminta agar diserahkan kepadanya segala haknya atas harta peninggalan beserta segala hasil, pendapatan, dan ganti rugi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SELAYAMG PANDANG TERHADAP CV (COMMANDITAIRE VENNOOTSCHAP)

PROSEDUR PENDIRIAN CV, SERTA AKIBAT HUKUM KEPADA SEKUTU AKTIF MAUPUN PASIF APABILA CV BERHADAPAN DENGAN HUKUM Selain Perseroan Terbatas, salah satu bentuk usaha yang banyak dibuat di Indonesia adalah CV. CV sendiri adalah singkatan dari Commanditaire Vennootschap . Seperti Perseroan Terbatas, pembuatan CV juga melalui beberapa mekanisme dan perjanjian, tetapi prosesnya lebih mudah jika dibandingkan dengan PT. CV yang dikenal juga dengan istilah Persekutuan Komanditer di Indonesia (Ps. 19 KUHD), merupakan persekutuan yang didirikan oleh satu atau beberapa orang untuk melakukan usaha di bidang yang telah disepakati. Dalam undang-undang dijelaskan jika pendirian CV didirikan oleh seorang atau lebih dimana satu orang bertindak sebagai pemimpin sementara pihak lainnya hanya sebagai penyimpan barang atau modal. CV terdiri dari sekutu aktif / komplementer dan sekutu pasif / komanditer yang perbedaan tanggung jawabnya adalah sebagai berikut : 1.       Sekutu aktif be

PERKARA TUN YANG KANDAS DI DISMISSAL PROCESS

BANYAK PERKARA TUN YANG KANDAS DI DISMISSAL PROCESS KARENA KETIDAK TAHUAN ATAU KEKELIRUAN PARA ADVOKAT / PENGGUGAT Membawa sengketa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tidak selalu berjalan mulus. Ada proses yang harus pertama kali dilewati oleh setiap penggugat yang mendaftarkan perkaranyadi PTUN. Yakni, tahap pemeriksaan persiapan (administrasi) atau dismissal process . Tidak sedikit gugatan tata usaha Negara justru berhenti di tahap ini. Sepanjang catur wulan pertama 2010, PTUN Jakarta mencatat delapan perkara yang kandas pada dismissal process . Rinciannya, empat perkara pada Januari, dua perkara pada Februari, dan masing-masing satu perkara pada Maret dan April. Perkara pajak dan merek termasuk yang terhambat pada tahap ini. Pada dasarnya, dismissal process adalah kewenangan Ketua Pengadilan (PTUN) yang diberikan oleh undang-undang untuk menyeleksi perkara-perkara yang dianggap tidak layak untuk disidangkan oleh majelis. Pasalnya, apabila perkara tersebut

SURAT KETERANGAN KEPEMILIKAN TANAH ATAU SKT

PROSEDUR MENGURUS SURAT KETERANGAN KEPEMILIKAN TANAH ATAU SKT Surat Kepemilikan Tanah (SKT) pada dasarnya menegaskan mengenai riwayat tanah. Surat keterangan riwayat tanah tersebut merupakan salah satu alat bukti tertulis untuk menunjukkan kepemilikan tanah guna kepentingan proses pendaftaran tanah. Secara eksplisit, memang tidak diatur mengenai tata cara untuk memperoleh SKT dalam PP No.24 Tahun 1997. Namun, SKT tidak diperlukan lagi sebagai salah satu syarat dalam pendaftaran tanah. Menurut Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (pada saat itu, Ferry Mursyidan Baldan), Surat Kepemilikan Tanah itu sebetulnya menegaskan riwayat tanah. SKT di perkotaan tidak dibutuhkan lagi menjadi syarat mengurus sertifikat tanah. Surat keterangan riwayat tanah tersebut merupakan salah satu alat bukti tertulis untuk menunjukkan kepemilikan tanah. Bukti kepemilikan itu pada dasarnya terdiri dari bukti kepemilikan atas nama pemegang hak pada waktu berlakunya UU No.5