Langsung ke konten utama

DEBT COLLECTOR

DASAR HUKUM ADANYA DEBT COLLECTOR








Berdasarkan hasil penelusuran Penulis terkait dasar hukum bagi debt collector, bahwa tidak ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai penagih utang atau debt collector. Debt collector pada prinsipnya bekerja berdasarkan kuasa yang diberikan oleh kreditur (dalam hal ini bank) untuk menagih utang kepada debiturnya (nasabah). Perjanjian pemberian kuasa diatur dalam KUHPer.

Khusus di bidang perbankan, memang ada peraturan perundang-undangan yang memungkinkan pihak bank untuk menggunakan jasa pihak lain untuk menagih utang. Hal tersebut diatur dalam :
1.      PBI No. 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu sebagaimana yang telah diubah oleh PBI No. 14/2/PBI/2012 tentang Perubahan Atas PBI No. 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu.

2.      SEBI No. 11/10/DASP Tanggal 13 April 2009 Perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu sebagaimana yang telah diubah oleh :
a.       SEBI No. 14/17/DASP Tanggal 7 Juni 2012 Perihal Perubahan atas SEBI No. 11/10/DASP perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu.
b.      SEBI No. 16/25/DKSP Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas SEBI No. 11/10/DASP Tanggal 13 April 2009 Perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu.
c.       SEBI No. 17/51/DKSP Tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga Atas SEBI No. 11/10/DASP Tanggal 13 April 2009 Perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu.
d.      SEBI No. 18/33/DKSP Tahun 2016 tentang Perubahan Keempat Atas SEBI No. 11/10/DASP Tanggal 13 April 2009 Perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu.

Dalam PBI dan SEBI ini diatur antara lain bahwa :
1.      Dalam melakukan penagihan kartu kredit, Penerbit kartu kredit wajib mematuhi pokok-pokok etika penagihan utang kartu kredit.
2.      Penerbit kartu kredit (Bank) wajib menjamin bahwa penagihan utang kartu kredit, baik yang dilakukan oleh Penerbit kartu kredit sendiri atau menggunakan penyedia jasa penagihan (debt collector), dilakukan sesuai dengan ketentuan BI serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.      Dalam hal penagihan utang kartu kredit menggunakan jasa pihak lain, bank wajib menjamin bahwa :
a.       Kualitas pelaksanaan penagihannya sama dengan jika dilakukan sendiri oleh penerbit.
b.      Pelaksanaan penagihan utang kartu kredit hanya untuk utang kartu kredit dengan kualitas tertentu.
4.      Dalam melakukan penagihan kartu kredit baik menggunakan tenaga penagihan sendiri atau tenaga penagihan dari perusahaan penyedia jasa penagihan, Penerbit kartu kredit (Bank) wajib memastikan bahwa :
a.       Tenaga penagihan telah memperoleh pelatihan yang memadai terkait dengan tugas penagihan dan etika penagihan sesuai ketentuan yang berlaku.
b.      Identitas setiap tenaga penagihan ditatausahakan dengan baik oleh Penerbit kartu kredit (Bank).
c.       Tenaga penagihan dalam melaksanakan penagihan mematuhi pokok-pokok etika penagihan sebagai berikut :
·         Menggunakan kartu identitas resmi yang dikeluarkan Penerbit kartu kredit (Bank), yang dilengkapi dengan foto diri yang bersangkutan.
·         Penagihan dilarang dilakukan dengan menggunakan cara ancaman, kekerasan dan/atau tindakan yang bersifat mempermalukan pemegang kartu kredit.
·         Penagihan dilarang dilakukan dengan menggunakan tekanan secara fisik maupun verbal.
·         Penagihan dilarang dilakukan kepada pihak selain pemegang kartu kredit.
·         Penagihan menggunakan sarana komunikasi dilarang dilakukan secara terus menerus yang bersifat mengganggu.
·         Penagihan hanya dapat dilakukan di tempat alamat penagihan atau domisili pemegang kartu kredit.
·         Penagihan hanya dapat dilakukan pada pukul 08.00 sampai dengan pukul 20.00 wilayah waktu alamat pemegang kartu kredit.
·         Penagihan di luar tempat dan/atau waktu sebagaimana dimaksud pada poin 6 dan 7 di atas, hanya dapat dilakukan atas dasar persetujuan dan/atau perjanjian dengan pemegang kartu kredit terlebih dahulu.
·         Penerbit kartu kredit juga harus memastikan bahwa pihak lain yang menyediakan jasa penagihan yang bekerjasama dengan penerbit kartu kredit juga mematuhi etika penagihan yang ditetapkan oleh asosiasi penyelenggara alat pembayaran dengan menggunakan kartu.
5.      Berlaku pula ketentuan sebagai berikut :
a.       Penagihan kartu kredit menggunakan tenaga penagihan dari perusahaan penyedia jasa penagihan hanya dapat dilakukan jika kualitas tagihan kartu kredit dimaksud telah termasuk dalam kualitas macet berdasarkan kriteria kolektibilitas sesuai ketentuan BI yang mengatur mengenai kualitas kredit.
b.      Kerjasama antara Penerbit kartu kredit dengan perusahaan penyedia jasa penagihan wajib dilakukan sesuai ketentuan BI yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian bagi bank umum yang melakukan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c.       Penerbit kartu kredit wajib menjamin kualitas pelaksanaan penagihan kartu kredit oleh perusahaan penyedia jasa penagihan sama dengan jika dilakukan sendiri oleh penerbit kartu kredit.

Ketentuan Pidana
Apabila merujuk pada ketentuan-ketentuan KUHP, tindakan kekerasan yang dilakukan oleh debt collector dapat dijerat hukum. Dalam hal debt collector tersebut menggunakan kata-kata kasar dan dilakukan di depan umum, maka ia bisa dipidana dengan pasa penghinaan, yaitu Ps. 310 KUHP :
Barangsiapa merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500.

Selain itu, bisa juga digunakan Ps.335 ayat (1) KUHP jo. Putusan MK No. 1/PUU-XI/2013 :
Diancama dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp. 4.500 barangsiapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SELAYAMG PANDANG TERHADAP CV (COMMANDITAIRE VENNOOTSCHAP)

PROSEDUR PENDIRIAN CV, SERTA AKIBAT HUKUM KEPADA SEKUTU AKTIF MAUPUN PASIF APABILA CV BERHADAPAN DENGAN HUKUM Selain Perseroan Terbatas, salah satu bentuk usaha yang banyak dibuat di Indonesia adalah CV. CV sendiri adalah singkatan dari Commanditaire Vennootschap . Seperti Perseroan Terbatas, pembuatan CV juga melalui beberapa mekanisme dan perjanjian, tetapi prosesnya lebih mudah jika dibandingkan dengan PT. CV yang dikenal juga dengan istilah Persekutuan Komanditer di Indonesia (Ps. 19 KUHD), merupakan persekutuan yang didirikan oleh satu atau beberapa orang untuk melakukan usaha di bidang yang telah disepakati. Dalam undang-undang dijelaskan jika pendirian CV didirikan oleh seorang atau lebih dimana satu orang bertindak sebagai pemimpin sementara pihak lainnya hanya sebagai penyimpan barang atau modal. CV terdiri dari sekutu aktif / komplementer dan sekutu pasif / komanditer yang perbedaan tanggung jawabnya adalah sebagai berikut : 1.       Sekutu aktif be

PERKARA TUN YANG KANDAS DI DISMISSAL PROCESS

BANYAK PERKARA TUN YANG KANDAS DI DISMISSAL PROCESS KARENA KETIDAK TAHUAN ATAU KEKELIRUAN PARA ADVOKAT / PENGGUGAT Membawa sengketa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tidak selalu berjalan mulus. Ada proses yang harus pertama kali dilewati oleh setiap penggugat yang mendaftarkan perkaranyadi PTUN. Yakni, tahap pemeriksaan persiapan (administrasi) atau dismissal process . Tidak sedikit gugatan tata usaha Negara justru berhenti di tahap ini. Sepanjang catur wulan pertama 2010, PTUN Jakarta mencatat delapan perkara yang kandas pada dismissal process . Rinciannya, empat perkara pada Januari, dua perkara pada Februari, dan masing-masing satu perkara pada Maret dan April. Perkara pajak dan merek termasuk yang terhambat pada tahap ini. Pada dasarnya, dismissal process adalah kewenangan Ketua Pengadilan (PTUN) yang diberikan oleh undang-undang untuk menyeleksi perkara-perkara yang dianggap tidak layak untuk disidangkan oleh majelis. Pasalnya, apabila perkara tersebut

SURAT KETERANGAN KEPEMILIKAN TANAH ATAU SKT

PROSEDUR MENGURUS SURAT KETERANGAN KEPEMILIKAN TANAH ATAU SKT Surat Kepemilikan Tanah (SKT) pada dasarnya menegaskan mengenai riwayat tanah. Surat keterangan riwayat tanah tersebut merupakan salah satu alat bukti tertulis untuk menunjukkan kepemilikan tanah guna kepentingan proses pendaftaran tanah. Secara eksplisit, memang tidak diatur mengenai tata cara untuk memperoleh SKT dalam PP No.24 Tahun 1997. Namun, SKT tidak diperlukan lagi sebagai salah satu syarat dalam pendaftaran tanah. Menurut Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (pada saat itu, Ferry Mursyidan Baldan), Surat Kepemilikan Tanah itu sebetulnya menegaskan riwayat tanah. SKT di perkotaan tidak dibutuhkan lagi menjadi syarat mengurus sertifikat tanah. Surat keterangan riwayat tanah tersebut merupakan salah satu alat bukti tertulis untuk menunjukkan kepemilikan tanah. Bukti kepemilikan itu pada dasarnya terdiri dari bukti kepemilikan atas nama pemegang hak pada waktu berlakunya UU No.5