AKIBAT HUKUM SERTA KONSEKUENSI BAGI DEVELOPER YANG DINYATAKAN PAILIT KEPADA NASABAH YANG MENCICIL RUMAH KPR
Berdasarkan
judul yang Penulis kemukakan di atas, maka ada dua hal kemungkinan peristiwa,
yaitu :
1. Yang
pertama, jika rumah yang sudah dibeli sudah jadi secara utuh dan siap
ditinggali, maka mengacu pada Peraturan Bank Indonesia No. 18/16/PBI/2016
tentang Rasio Loan to Value untuk
Kredit Properti, Rasio Financing to Value
untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan
Bermotor dan Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 12/38/DPNP tanggal 31
Desember 2010 tentang Pedoman Penyusunan Standard Operationg Procedure Administrasi
Kredit Pemilikan Rumah Dalam Rangka Sekuritisasi, setelah permohonan kredit
pemilikan rumah (KPR) disetujui Bank (yang berarti Perjanjian Pengikatan Jual
Beli / PPJB telah ditandatangani dan uang muka telah dibayar) dan Akad Kredit
dengan bank telah ditandatangani, maka bank akan mentransfer dana ke pihak
developer dan Notaris akan memproses Akta Jual Beli (AJB) serta pembalikkan
nama sertifikat tanah ke nama yang bersangkutan. Rumah yang sudah atas nama
yang bersangkutan sebagai pembeli ini akan langsung dibebankan Hak Tanggungan
oleh pihak Bank. Selain itu, surat-surat seperti AJB, sertifikat hak atas
tanah, dan termasuk Izin Mendirikan Bangunan, dipegang oleh pihak Bank sebagai
jaminan sampai semua cicilan kepada Bank telah dilunasi.
Jika
peristiwa pada poin no.1 di atas terjadi, maka objek rumah yang sudah dibeli
sudah menjadi milik yang bersangkutan. Karena itu, jika di tengah jalan
developer bangkrut atau dinyatakan pailit, status rumah tersebut tidak akan
menjadi boedel pailit yang akan
dibereskan oleh kurator untuk membayar utang-utang developer. Di samping itu,
cicilan pihak yang bersangkutan kepada bank tetap harus dilanjutkan sesuai
perjanjian kredit yang ditandatangani. Pihak yang memiliki rumah tersebut, juga
tetap dapat memiliki dan menempati rumah tersebut jika cicilan KPRnya lunas.
2. Yang
kedua, yang menjadi persoalan adalah jika rumah yang dibeli tersebut belum jadi
secara utuh dan di tengah jalan developer tersebut bangkrut atau dinyatakan
pailit serta tidak dapat melanjutkan pembangunan. Jika peristiwa ini yang
terjadi, maka yang bersangkutan hanya memegang PPJB (bukan AJB atau sertifikat
tanah) yang telah ditandatangani dengan pihak developer, yang berarti objek
rumah tersebut masih menjadi milik developer dan belum beralih. Yang lebih
buruk lagi, kini rumah tersebut menjadi bagian dari boedel pailit. Berdasarkan Kepmenpera No. 09/KPTS/M/1995 tentang
Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah, PPJB tersebut juga belum bisa diproses AJB
sebelum rumah tersebut diselesaikan pembangunannya dan telah siap untuk dihuni.
KPR
yang diajukan untuk rumah yang belum tersedia secara utuh (dikenal dengan KPR
rumah inden) sudah diatur dalam PBI Tahun 2016 dan SEBI No. 18/19/DKMP tanggal
6 September 2016 tentang Rasio Loan to
Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing
to Value untuk pembiayaan Properti, dan uang muka untuk kredit atau
pembiayaan kendaraan bermotor. Persyaratan untuk Bank memberikan Kredit
Pemilikan untuk pemilikan property yang belum tersedia secara utuh adalah
adanya perjanjian kerjasama antara Bank dan developer, jaminan yang diberikan
oleh developer kepada bank yang nilainya paling kurang sebesar selisih antara
komitmen kredit atau pembiayaan dengan pencairan yang telah dilakukan oleh
Bank, dan jaminan tersebut dapat dieksekusi oleh Bank jika developer tidak
dapat menyelesaikan pembangunan propertinya.
Bank
juga tidak akan mengucurkan dana 100% kepada pihak developer. Bank akan
mengirimkan dana secara bertahap sebagaimana diatur dalam SEBI 2016. Karena itu,
biasanya KPR rumah inden hanya bisa diajukan kepada bank yang adalah rekanan
developer. Bank biasanya (kecuali ada kesepakatan lain) tidak akan memegang
jaminan lain selain PPJB antara pihak pembeli rumah dan developer sebagai “jaminan
sementara” dan jaminan dari pihak developer itu sendiri. Adapun PPJB sebenarnya
tidak bisa dijadikan agunan bank karena menurut UU No.10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan UU No.4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan
Tanah, agunan bank hanya dapat berupa barang, proyek, atau hak tagih yang
dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Adapun hak atas tanah yang dapat
dibebani hak tanggungan hanyalah hak milik, hak guna usaha, atau hak guna
bangunan.
Dalm
hal ini, kita dapat melihat bahwa terjadi 3 perjanjian yang harus kita lihat
secara terpisah :
1. PPJB.
Pihaknya adalah si pembeli dan developer sebagai penjual.
2. Perjanjian
kredit. Pihaknya adalah pembeli sebagai debitor dan Bank sebagai kreditur.
3. Perjanjian
kerjasama beserta jaminan. Pihaknya adalah bank dan developer.
Ketika
developer pailit, PPJB secara otomatis akan hapus. Hal ini sesuai dengan Ps.37
ayat 1 UU No.37 Tahun 2004 tentang KPKPU yang berbunyi :
“Apabila dalam perjanjian sebagaimana
dimaksud dalam Ps.36 telah diperjanjikan penyerahan benda dagangan yang biasa
diperdagangkan dengan suatu jangka waktu dan pihak yang harus menyerahkan benda
tersebut sebelum penyerahan dilaksanakan dinyatakan pailit maka perjanjian
menjadi hapus dengan diucapkannya putusan pernyataan pailit, dan dalam hal
pihak lawan dirugikan karena penghapusan maka yang bersangkutan dapat
mengajukan diri sebagai kreditor konkuren untuk mendapatkan ganti rugi”.
Debitur
tidak dapat menuntut diprosesnya AJB berdasarkan PPJB tersebut ketika developer
dinyatakan pailit. Yang dapat dilakukan adalah menuntut ganti rugi kepada
developer sebagai kreditor konkuren berdasarkan Ps.115 ayat (1) UU KPKPU:
“Semua kreditor wajib menyerahkan piutangnya
masing-masing kepada kurator disertai perhitungan atau keterangan tertulis
lainnya yang menunjukkan sifat dan jumlah piutang, disertai dengan surat bukti
atau salinannya, dan suatu pernyataan ada atau tidaknya kreditor mempunyai
suatu hak istimewa, hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak
agunan atas kebendaan lainnya, atau hak untuk menahan benda”.
Kewajiban
Debitor
Pada
dasarnya, hapusnya PPJB tidak serta merta menghapuskan Perjanjian Kredit yang
merupakan perjanjian terpisah. Seluruh kewajiban yang tertulis dalam Perjanjian
Kredit masih berlaku terhadap Bank dan debitor (termasuk cicilan KPR). Namun kini
yang menjadi pertanyaan adalah apakah gagal melakukan kewajiban tersebut
(wanprestasi) dibenarkan oleh hukum atas dasar kepailitan developer?
Menurut
Ps.1243 KUHPer :
“Penggantian biaya, rugi, dan bunga karena
tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang,
setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika
sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat
dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya”.
Jadi,
kelalaian memenuhi kewajiban sebuah perikatan harus disertai dengan penggantian
biaya, rugi, dan bunga. Namun menurut Ps. 1244 – 1245 KUHPer :
“Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus
dihukum mengganti biaya, rugi, dan bunga apabila ia tidak dapat membuktikan
bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu
disebabkan karena suatu hal yang tak terduga, pun tidak dapat
dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah
ada pada pihaknya”.
Tidaklah
biaya, rugi, dan bunga harus digantinya apabila lantaran keadaan memaksa atau
lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang berhalangan memberikan atau
berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah
melakukan perbuatan yang terlarang.
Wanprestasi
yang disebabkan oleh keadaan memaksa tidak akan mewajibkan debitor mengganti
biaya, rugi, dan bunga. Lalu apakah kepailitan developer termasuk dalam keadaan
memaksa?
Menurut
Prof. Mariam Darus Badrulzaman dalam bukunya Hukum Perikatan dalam KUHPer: Yurisprudensi, Doktrin, serta Penjelasan
Buku Ketiga, ada tiga elemen yang harus dipenuhi untuk keadaan memaksa :
1. Tidak
memenuhi prestasi.
2. Ada
sebab yang terletak di luar kesalahan debitor.
3. Faktor
penyebab itu tidak diduga sebelumnya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepada debitor.
Dalam
hal ini, kepailitan developer memenuhi seluruh unsur tersebut dan termasuk
dalam kategori keadaan memaksa yang dapat mengecualikan debitor dari keharusan
membayar biaya, rugi, dan bunga, jika yang bersangkutan tidak meneruskan
cicilan KPR tersebut. Dalam hal ini, risiko keadaan memaksa tersebut akan
ditanggung oleh pihak developer melalui jaminan yang sebelumnya ditahan oleh
pihak bank dan perjanjian kerjasama antara Bank dan developer. Justru, pihak
yang bersangkutan tersebut dapat menuntut ganti rugi kepada developer sebagai
kreditor konkuren.
Komentar
Posting Komentar