Langsung ke konten utama

KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

ALAT BUKTI YANG BARU DIMUNCULKAN KETIKA PERSIDANGAN PERKARA KEPAILITAN SUDAH DIGELAR







Hukum Acara Perkara Kepailitan

Dalam perkara kepailitan, prinsipnya hukum acara yang digunakan adalah hukum acara perdata biasa yang digunakan dalam persidangan pada peradilan umum. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Ps.299 UU No.37 Tahun 2004 tentang PKPU yang berbunyi sebagai berikut :
Kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini maka hukum acara yang berlaku adalah Hukum Acara Perdata”.

Kecuali ditentukan lain maksudnya adalah ada prinsip-prinsip permohonan kepailitan yang diatur secara khusus sebagaimana diatur dalam UU PKPU misalnya antara lain :
1.      Permohonan harus diajukan oleh seorang Advokat.
2.      Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.
3.      Putusang pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan.
4.      Putusan pernyataan pailit dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum.

Proses Persidangan Perkara Kepailitan

Namun proses agenda persidangan sendiri prinsipnya sama dengan agenda persidangan di peradilan umum dalam perkara perdata yaitu : Pembacaan Gugatan/Permohonan Pailit > Jawaban > Replik > Duplik > Bukti surat dan/atau saksi (Pembuktian) > Kesimpulan > Pembacaan Putusan (tidak ada proses mediasi).

Kekhasan khusus dalam praktik yang membedakan permohonan pailit dengan perkara perdata biasa adalah adanya pengajuan dokumen-dokumen bukti awal pada saat pendaftaran permohonan pernyataan pailit. Misalnya, Anggaran Dasar, Perjanjian yang membuktikan adanya utang, dan lain sebagainya.

Praktik ini menurut kami karena disebabkan adanya ketentuan Ps.6 ayat (3) UU KPKPU yang menyatakan :
Panitera wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit bagi institusi sebagaimana dimaksud dalam Ps.2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam ayat-ayat tersebut”.

Pasal tersebut seolah-olah telah memberikan kewenangan kepada Panitera untuk menentukan apakah perkara permohonan pailit dapat diterima atau ditolak melalui pemeriksaan dokumen-dokumen yang dilampirkan bersamaan dengan permohonan pailit. Walaupun belakangan pasal tersebut telah dicabut keberlakuannya oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK No. 071/PUU-II/2004 dan Putusan No. 001-002/PUU.III/2005, namun kebiasaan ini masih tetap dilakukan dan pemeriksaan dokumen akan juga dilakukan oleh Majelis Hakim sebelum memasuki agenda persidangan pembuktian termasuk hal-hal yang berkaitan dengan legal standing pemohon pada awal persidangan.

Berdasarkan uraian di atas, Penulis berkesimpulan bahwa adanya alat bukti baru yang muncul di sidang pembuktian selain dari apa yang dicantumkan dalam surat permohonan adalah hal yang kerap kali terjadi. Karena bisa saja dokumen-dokumen pembuktian yang diajukan di awal ternyata belum cukup membuktikan bagi pengadilan untuk menjatuhkan permohonan pailit terhadap termohon sehingga pemohon perlu untuk menambah atau melengkapi alat bukti baru.

Apalagi dalam permohonan pailit yang mengacu pada hukum acara perdata, beban pembuktian ada pada Pemohon. Keadaan yang sering terjadi adalah terkait pembuktian adanya kreditur lain yang diajukan sebagai bukti untuk memenuhi syarat kepailitan oleh Pemohon, ternyata kreditur tersebut sudah dilunasi hutangnya oleh termohon kemudian pemohon mencari kreditur lain sebagai bukti untuk menjatuhkan pernyataan pailit terhadap termohon.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SELAYAMG PANDANG TERHADAP CV (COMMANDITAIRE VENNOOTSCHAP)

PROSEDUR PENDIRIAN CV, SERTA AKIBAT HUKUM KEPADA SEKUTU AKTIF MAUPUN PASIF APABILA CV BERHADAPAN DENGAN HUKUM Selain Perseroan Terbatas, salah satu bentuk usaha yang banyak dibuat di Indonesia adalah CV. CV sendiri adalah singkatan dari Commanditaire Vennootschap . Seperti Perseroan Terbatas, pembuatan CV juga melalui beberapa mekanisme dan perjanjian, tetapi prosesnya lebih mudah jika dibandingkan dengan PT. CV yang dikenal juga dengan istilah Persekutuan Komanditer di Indonesia (Ps. 19 KUHD), merupakan persekutuan yang didirikan oleh satu atau beberapa orang untuk melakukan usaha di bidang yang telah disepakati. Dalam undang-undang dijelaskan jika pendirian CV didirikan oleh seorang atau lebih dimana satu orang bertindak sebagai pemimpin sementara pihak lainnya hanya sebagai penyimpan barang atau modal. CV terdiri dari sekutu aktif / komplementer dan sekutu pasif / komanditer yang perbedaan tanggung jawabnya adalah sebagai berikut : 1.       Sekutu aktif be

PERKARA TUN YANG KANDAS DI DISMISSAL PROCESS

BANYAK PERKARA TUN YANG KANDAS DI DISMISSAL PROCESS KARENA KETIDAK TAHUAN ATAU KEKELIRUAN PARA ADVOKAT / PENGGUGAT Membawa sengketa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tidak selalu berjalan mulus. Ada proses yang harus pertama kali dilewati oleh setiap penggugat yang mendaftarkan perkaranyadi PTUN. Yakni, tahap pemeriksaan persiapan (administrasi) atau dismissal process . Tidak sedikit gugatan tata usaha Negara justru berhenti di tahap ini. Sepanjang catur wulan pertama 2010, PTUN Jakarta mencatat delapan perkara yang kandas pada dismissal process . Rinciannya, empat perkara pada Januari, dua perkara pada Februari, dan masing-masing satu perkara pada Maret dan April. Perkara pajak dan merek termasuk yang terhambat pada tahap ini. Pada dasarnya, dismissal process adalah kewenangan Ketua Pengadilan (PTUN) yang diberikan oleh undang-undang untuk menyeleksi perkara-perkara yang dianggap tidak layak untuk disidangkan oleh majelis. Pasalnya, apabila perkara tersebut

SURAT KETERANGAN KEPEMILIKAN TANAH ATAU SKT

PROSEDUR MENGURUS SURAT KETERANGAN KEPEMILIKAN TANAH ATAU SKT Surat Kepemilikan Tanah (SKT) pada dasarnya menegaskan mengenai riwayat tanah. Surat keterangan riwayat tanah tersebut merupakan salah satu alat bukti tertulis untuk menunjukkan kepemilikan tanah guna kepentingan proses pendaftaran tanah. Secara eksplisit, memang tidak diatur mengenai tata cara untuk memperoleh SKT dalam PP No.24 Tahun 1997. Namun, SKT tidak diperlukan lagi sebagai salah satu syarat dalam pendaftaran tanah. Menurut Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (pada saat itu, Ferry Mursyidan Baldan), Surat Kepemilikan Tanah itu sebetulnya menegaskan riwayat tanah. SKT di perkotaan tidak dibutuhkan lagi menjadi syarat mengurus sertifikat tanah. Surat keterangan riwayat tanah tersebut merupakan salah satu alat bukti tertulis untuk menunjukkan kepemilikan tanah. Bukti kepemilikan itu pada dasarnya terdiri dari bukti kepemilikan atas nama pemegang hak pada waktu berlakunya UU No.5