Langsung ke konten utama

PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI

PERAN KEJAKSAAN DAN BADAN PEMERIKSAAN KEUANGAN (BPK) DALAM MENANGANI PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI



Kewenangan Jaksa Menyidik Tindak Pidana Korupsi

Selain Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian, Kejaksaan juga diberi wewenang untuk menyidik perkara korupsi. Hal tersebut diatur di dalam Ps.30 ayat (1) huruf d UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang berbunyi :
Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang”.

Penjelasan Ps.30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan menyatakan :
Kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No.20 Tahun 2001 jo. UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka kejaksaan berwenang melakukan penyidikan terhadap perkara tindak pidana korupsi.

Sebenarnya tindak pidana korupsi tidak melulu harus ada kerugian Negara. Tindakan memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelanggara Negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya, juga termasuk tindak pidana korupsi. Atau tindakan memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili, juga dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Tindakan yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi dapat dilihat dalam Ps.2 – Ps. 16 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan UU No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Berikut Penulis mencoba untuk menjelaskan tindak pidana korupsi yang mensyaratkan adanya kerugian keuangan Negara:

Ps.2
1.      Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekenomian Negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
2.      Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Ps.3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Sebagai suatu lembaga yang diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, kejaksaan memiliki tugas untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana korupsi yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Dikaitkan dengan pemenuhan unsur “kerugian keuangan Negara”, maka bukti-bukti yang harus dikumpulkan oleh kejaksaan adalah tentu bukti-bukti telah terjadinya kerugian keuangan Negara.

Menghitung Kerugian Negara

Penjelasan Ps.32 ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 menyatakan :

Yang dimaksud dengan secara nyata telah ada kerugian keuangan Negara adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk”.

Sedangkan menurut Ps.1 angka 22 UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, kerugian Negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.

Sehubungan dengan penilaian kerugian Negara tersebut, Ps.10 ayat (1) UU No.15 Tahun 2006 tentang BPK menyatakan :
BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian Negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan Negara.

Yang dimaksud pengelola termasuk pegawai perusahaan Negara/daerah dan lembaga atau badan lain. Yang dimaksud dengan BUMN/BUMD adalah perusahaan Negara/daerah yang sebagian besar atau seluruh modalnya dimiliki oleh Negara/daerah.

Kemudian Ps.10 ayat (2) UU BPK menyatakan :

Penilaian kerugian keuangan Negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK.

Berdasarkan uraian di atas, maka jelas yang berwenang menghitung, menilai, dan/atau menetapkan kerugian keuangan Negara adalah BPK dan dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan sebagai keputusan BPK, bukan Kejaksaan.

Untuk dapat menjadi seorang ahli di muka pengadilan si auditor BPK minimal mempunyai jabatan sebagai pengendali mutu atau pengendali teknis atau pimpinan tim. Persyaratan tersebut sesuai dengan ketentuan Ps.184 UU No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP dimana salah satu alat bukti adalah keterangan ahli, maka auditor yang menjadi pimpinan tim pemeriksa atau telah menjabat sebagai pengendali mutu atau pengendali teknis adalah sebagai seorang ahli atau tenaga profesional.

Dalam penjelasan Ps.186 KUHAP dijelaskan bahwa keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh Penyidik atau Penuntut Umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan waktu pemeriksaan oleh Penyidik atau Penuntut Umum, maka ada pemeriksaaan di sidang diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim.

Berdasarkan uraian di atas, Penulis berkesimpulan bahwa Kejaksaan berwenang melakukan penyidikan terhadap perkara tindak pidana korupsi. Sedangkan yang berwenang menghitung kerugian keuangan Negara adalah auditor BPK. Selain itu, untuk menentukan kerugian Negara, maka Jaksa mendasarkannya pada bukti-bukti dari Laporan Hasil Pemeriksaan audit BPK (bukti surat/tertulis) atau keterangan si auditor BPK di muka persidangan di bawah sumpah (keterangan ahli).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALAT BUKTI REKAMAN

APAKAH REKAMAN YANG DILAKUKAN DENGAN DIAM-DIAM DAPAT DIJADIKAN SEBAGAI ALAT BUKTI? Rekaman suara yang dibuat dengan aplikasi perekam suara ( voice memo atau voice record ) yang ada di telepon seluler ( smartphone ) termasuk dalam kategori Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Ps.1 angka 4 UU No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi : “ Dokumen Elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya ”. Sehingga, berdasarkan bunyi pasal d...

PIDANA BERSYARAT (PIDANA PERCOBAAN) DAN VONIS HAKIM YANG LEBIH TINGGI DARI TUNTUTAN JAKSA

MENGENAL TENTANG PIDANA BERSYARAT (PIDANA PERCOBAAN) DAN JUGA TENTANG APAKAH VONIS HAKIM BOLEH LEBIH TINGGI DARI TUNTUTAN JAKSA ATAU TIDAK Pengantar Baru-baru ini, publik sempat dihebohkan dengan “skenario” dari persidangan Basuki Tjahja Purnama alias Ahok yang dipidana atas kasus penistaan agama dengan melanggar Ps. 156a KUHP, yakni secara sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama. Namun yang hendak Penulis ulas dalam artikel ini, bukanlah mengenai teknis dari kasus Ahok maupun “skenario-skenario” dalam panggung politik tersebut. Akan tetapi, yang lebih menarik untuk dibahas adalah tentang apakah yang dimaksud dengan pidana bersyarat dan apakah vonis yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim boleh lebih tinggi atau tidak dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Tentang Pidana Bersyarat Seperti yang telah kita ketahui, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama alias Ahok divonis ...

ATURAN PARTAI POLITIK DALAM MENDIRIKAN KOPERASI

ATURAN TERHADAP  PARTAI POLITIK DALAM MENDIRIKAN KOPERASI Di era globalisasi seperti sekarang ini, merupakan hal yang lumrah untuk mencari pendapatan tambahan, mengingat kebutuhan hidup yang kian hari kian bertambah. Tidak sedikit orang-orang demi mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, mencari penghasilan tambahan di luar pekerjaannya, meskipun ada yang memang sekedar untuk menambah penghasilan, dan juga ada yang karena dasar “moral” maka mencoba menciptakan suatu peluang usaha guna menyerap tenaga kerja dan mampu menambah penghasilan mereka. Sebagai contoh adalah mendirikan Koperasi. Namun bahasan dalam artikel ini, dipersempit terhadap anggota partai politik yang hendak mendirikan Koperasi. Sebelum membahas lebih lanjut, alangkah lebih baik kita ulas terlebih dahulu tentang koperasi dan partai politik. Pengertian Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekal...