Langsung ke konten utama

KEKUATAN HUKUM ADAT DI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA

APAKAH SESEORANG DAPAT DIPIDANA SESUAI HUKUM NASIONAL, APABILA SEBELUMNYA TELAH DIPIDANA SECARA ADAT







Hukum pidana adat diakui sebagai sumber hukum dalam memutus perkara pidana oleh hakim. Di samping itu, lembaga adat yang menjatuhkan pidana adat itu diakui dalam sistem peradilan Indonesia sehingga bila sebuah kasus selesai di lembaga adat, maka kasus itu sudah dianggap selesai. Bila ternyata tidak selesai juga, baru kemudian berjalan ke peradilan nasional.

Namun sebelum membahas lebih jauh, ada lebih baiknya kita kupas satu per satu  terkait sistem hukum di Negara kita.

Asas Legalitas dalam Hukum Pidana

Dalam hukum pidana, dikenal suatu asas bernama Asas Legalitas yang diatur dalam Ps. 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi :
            “suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”.

Asas legalitas berlaku dalam ranah hukum pidana dan terkenal dengan adagium yang berbunyi nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali. Secara umumnya, adagium tersebut dapat diartikan menjadi “tidak ada tindak pidana, tidak ada hukuman tanpa peraturan yang mendahuluinya”. Secara umum, Von Feuerbach membagi adagium tersebut menjadi tiga bagian, yaitu :
1.      Tidak ada hukuman, kalau tidak ada undang-undang.
2.      Tidak ada hukuman, kalau tidak ada kejahatan.
3.      Tidak ada kejahatan, kalau tidak ada hukuman, yang berdasarkan Undang-Undang.

Jadi menurut hukum positif di Indonesia seseorang baru bisa dipidana jika telah ada aturan tentang perbuatan tersebut. Prinsip ini merupakan asas legalitas.

Legalitas Hukum Adat

Asas legalitas dalam hukum adat juga diakui. Pengakuan akan hukum adat ini terdapat dalam Ps. 18B ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi:
            “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Selain itu, dalam memutus perkara seorang hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

Perlu untuk kita pahami, sumber hukum pidana di Indonesia bukan hanya pidana tertulis saja, melainkan juga pidana tidak tertulis. Secara formal, ketika Belanda memberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Nederlandch Indie (1 Januari 1918), hukum pidana adat memang tidak diberlakukan. Tetapi secara materiil tetap berlaku dan diterapkan dalam praktik peradilan.

Setelah kemerdekaan, pidana adat mendapat tempat lewat Undang-Undang Darurat No. 1 Drt 1951 tentang Tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan kekuasaan dan acara pengadilan – Pengadilan sipil (UU Drt 1/1951). Ps. 5 ayat (3) huruf b UU Drt 1/1951 menjelaskan tentang pidana adat yang tidak ada bandingannya dalam KUHP, pidana adat yang ada bandingannya dalam KUHP, dan sanksi adat. Sanksi adat dapat dijadikan pidana pokok atau pidana utama oleh hakim dalam memeriksa dan mengadili perbuatan yang menurut hukum yang hidup dianggap sebagai tindak pidana yang tidak ada bandingannya dalam KUHP.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 984 K/Pid/1996 tanggal 30 Januari 1996, majelis hakim menyatakan jika pelaku perzinahan telah dijatuhi sanksi adat atau mendapat reaksi adat oleh para pemangku desa adat, dimana hukum adat masih dihormati dan hidup subur, maka tuntutan oleh jaksa harus dinyatakan tidak dapat diterima. Putusan tersebut menunjukkan bahwa MA mengakui eksistensi hukum pidana adat beserta reaksi adatnya yang masih hidup dalam masyarakat Indonesia. Selain itu, hukum pidana adat termasuk hukum yang hidup. Ia bisa menjadi sumber hukum.

Kedudukan Terdakwa dalam Pengadilan Yang “Sudah” mendapat Sanksi Hukum Adat

Penulis berpendapat, pada dasarnya bila sebuah kasus selesai di lembaga adat, maka kasus itu sudah dianggap selesai. Bila ternyata tidak selesai juga, maka baru kemudian berjalan ke peradilan nasional. Karena sebenarnya pengadilan sudah mengakui itu. Hal ini dapat kita lihat dari Yurisprudensi Putusan MA No. 1644 K/Pida/1988 terhadap sebuah kasus di Kendari, Sulawesi Tenggara. Kasus ini berawal dari perbuatan asusila seseorang di Desa Parauna Kecamatan Unaaha, Kodya Kendari yang ditangani oleh Kepala Adat Tolake.

Ketika itu, Kepala Adat Tolake menjatuhkan vonis kepada pelaku berupa sanksi adat “Prohala”, yakni pelaku harus membayar seekor kerbau dan satu set kain kaci. Pelaku mematuhi sanksi itu. Namun, meski sudah selesai di lembaga adat, kasus ini tetap ditangani oleh kepolisian dan berujung ke Pengadilan Negeri. Di Pengadilan Negeri Kendari, majelis hakim menegaskan terdakwa secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana adat “memperkosa”. Majelis juga menolak pembelaan terdakwa bahwa Pengadilan Negeri seharusnya tidak mengadili kasus ini lagi karena sudah selesai di lembaga adat. Argument nebis in idem juga ditolak oleh pengadilan.

Di Pengadilan Tinggi, majelis hakim menguatkan putusan PN. Majelis menyatakan terdakwa dihukum karena bersalah melakukan perbuatan “pidana adat siri”. Uniknya, di tingkat kasasi, MA justru membalik semua putusan PN dan PT tersebut. MA berpendapat bahwa terdakwa telah menjalani sanksi adat berupa membayar seekor kerbau dan satu set kain kaci. Karenanya, PN dan PT seharusnya tidak berwenang lagi menjatuhi hukuman kepada terdakwa.

Berikut penulis sajikan pembidangan hukum adat menurut BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) :
1.      Hukum adat tentang organisasi/persekutuan hukum.
2.      Hukum tentang pribadi/orang.
3.      Hukum kekerabatan/keluarga.
4.      Hukum perkawinan.
5.      Hukum waris.
6.      Hukum tanah.
7.      Hukum perhutangan.
8.      Hukum tentang delik.

Sedangkan berdasarkan hasil penelitian, diperoleh gambaran putusan MA yang berhubungan dengan hukum adat atau hukum yang hidup di masyarat sebagai berikut :
1.      Kedewasaan.
2.      Perwalian.
3.      Hak waris.
4.      Kedudukan harta pencaharian bersama.
5.      Anak angkat.
6.      Pemilikan atas tanah.
7.      Hak komunal/hak ulayat.
8.      Hak numpang/pengabdian.
9.      Asas pemisahan horizontal.
  .   Peralihan hak. 
  .      Hibah.


2.      Gadai tanah.
1.       Lembaga kadaluwarsa.
1.       Penyelesaian sengketa.
1.       Hukum adat lokal.
1.       Perbuatan melawan hukum.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SELAYAMG PANDANG TERHADAP CV (COMMANDITAIRE VENNOOTSCHAP)

PROSEDUR PENDIRIAN CV, SERTA AKIBAT HUKUM KEPADA SEKUTU AKTIF MAUPUN PASIF APABILA CV BERHADAPAN DENGAN HUKUM Selain Perseroan Terbatas, salah satu bentuk usaha yang banyak dibuat di Indonesia adalah CV. CV sendiri adalah singkatan dari Commanditaire Vennootschap . Seperti Perseroan Terbatas, pembuatan CV juga melalui beberapa mekanisme dan perjanjian, tetapi prosesnya lebih mudah jika dibandingkan dengan PT. CV yang dikenal juga dengan istilah Persekutuan Komanditer di Indonesia (Ps. 19 KUHD), merupakan persekutuan yang didirikan oleh satu atau beberapa orang untuk melakukan usaha di bidang yang telah disepakati. Dalam undang-undang dijelaskan jika pendirian CV didirikan oleh seorang atau lebih dimana satu orang bertindak sebagai pemimpin sementara pihak lainnya hanya sebagai penyimpan barang atau modal. CV terdiri dari sekutu aktif / komplementer dan sekutu pasif / komanditer yang perbedaan tanggung jawabnya adalah sebagai berikut : 1.       Sekutu aktif be

PERKARA TUN YANG KANDAS DI DISMISSAL PROCESS

BANYAK PERKARA TUN YANG KANDAS DI DISMISSAL PROCESS KARENA KETIDAK TAHUAN ATAU KEKELIRUAN PARA ADVOKAT / PENGGUGAT Membawa sengketa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tidak selalu berjalan mulus. Ada proses yang harus pertama kali dilewati oleh setiap penggugat yang mendaftarkan perkaranyadi PTUN. Yakni, tahap pemeriksaan persiapan (administrasi) atau dismissal process . Tidak sedikit gugatan tata usaha Negara justru berhenti di tahap ini. Sepanjang catur wulan pertama 2010, PTUN Jakarta mencatat delapan perkara yang kandas pada dismissal process . Rinciannya, empat perkara pada Januari, dua perkara pada Februari, dan masing-masing satu perkara pada Maret dan April. Perkara pajak dan merek termasuk yang terhambat pada tahap ini. Pada dasarnya, dismissal process adalah kewenangan Ketua Pengadilan (PTUN) yang diberikan oleh undang-undang untuk menyeleksi perkara-perkara yang dianggap tidak layak untuk disidangkan oleh majelis. Pasalnya, apabila perkara tersebut

SURAT KETERANGAN KEPEMILIKAN TANAH ATAU SKT

PROSEDUR MENGURUS SURAT KETERANGAN KEPEMILIKAN TANAH ATAU SKT Surat Kepemilikan Tanah (SKT) pada dasarnya menegaskan mengenai riwayat tanah. Surat keterangan riwayat tanah tersebut merupakan salah satu alat bukti tertulis untuk menunjukkan kepemilikan tanah guna kepentingan proses pendaftaran tanah. Secara eksplisit, memang tidak diatur mengenai tata cara untuk memperoleh SKT dalam PP No.24 Tahun 1997. Namun, SKT tidak diperlukan lagi sebagai salah satu syarat dalam pendaftaran tanah. Menurut Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (pada saat itu, Ferry Mursyidan Baldan), Surat Kepemilikan Tanah itu sebetulnya menegaskan riwayat tanah. SKT di perkotaan tidak dibutuhkan lagi menjadi syarat mengurus sertifikat tanah. Surat keterangan riwayat tanah tersebut merupakan salah satu alat bukti tertulis untuk menunjukkan kepemilikan tanah. Bukti kepemilikan itu pada dasarnya terdiri dari bukti kepemilikan atas nama pemegang hak pada waktu berlakunya UU No.5