Langsung ke konten utama

LEGALITAS TERHADAP PENANGKAPAN TERSANGKA KASUS PELANGGARAN

LEGALITAS TERHADAP PENANGKAPAN TERSANGKA KASUS PELANGGARAN




Penangkapan dan Syaratnya

Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Dari defines penangkapan di atas dapat kita bisa ketahui bahwa tindakan penangkapan dilakukan oleh penyidik (dalam hal ini kepolisian) pada proses penyidikan. Selain itu, penangkapan dilakukan guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan. Sola penangkapan, M. Yahya Harahap dalam bukunya “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan” (hal.158) mengataka bahwa alasan penangkapan atau syarat penangkapan tersirat dalam Ps.17 KUHAP :
1.      Seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana.
2.      Dugaan yang kuat itu didasarkan pada bukti permulaan yang cukup.

Bukti permulaan yang cukup adalah minimal 2 alat bukti yang termuat dalam Ps.184 KUHAP sebagaimana dimaksud dalam Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 yakni :
1.      Keterangan saksi.
2.      Keterangan ahli.
3.      Surat.
4.      Petunjuk.
5.      Keterangan terdakwa.

Larangan Penangkapan Terhadap Tersangka Pelaku Pelanggaran

Ps.19 ayat (2) KUHAP berbunyi : “Terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan penangkapan kecuali dalam hal ia telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah”.

Berdasarkan bunyi Ps.19 ayat (2) KUHAP di atas, Penulis beranggapan bahwa tidak boleh melakukan penangkapan terhadap tersangka yang melakukan tindak pidana pelanggaran. Prinsip hukum telah menggariskan, dilarang menangkap pelaku tindak pidana pelanggaran.

Meskipun begitu, terhadap prinsip hukum ini ada pengecualian sebagaimana dijelaskan dalam Ps.19 ayat (2) KUHAP yaitu dalam hal apabila tersangka pelaku tindak pidana pelanggaran sudah dua kali dipanggil berturut-turut secara resmi namun tidak memenuhi panggilan tanpa alasan yang sah. Dalam kasus ini tersangka dapat ditangkap atau dapat dibawa ke kantor polisi dengan paksa, untuk dilakukan pemeriksaan.

Berdasarkan keterangan di atas, akan timbul pertanyaan, apakah prinsip tersebut mutlak berlaku untuk semua tindak pidana pelanggaran? Di sini Penulis mencoba untuk menjelaskan bahwa terdapat pengecualian. Dasar pengecualian bertitik tolak dari ketentuan Ps.21 ayat (4) KUHAP yang menjelaskan bahwa penahanan hanya dapat dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa atau orang yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan tindak pidana atau terhadap orang yang memberi bantuan terhadap tindak pidana.

Sehubungan dengan ketentuan tersebut, penahanan (bukan hanya penangkapan) dapat dilakukan terhadap orang yang memberi bantuan dalam tindak pidana. Sebagai contoh Ps.506 KUHP, pasal ini dimasukkan dalam Buku III KUHP tentang pelanggaran. Yang diatur dalam Bab III mengenai pelanggaran ketertiban umum yaitu : barang siapa mencari keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun. Perbuatan cabulnya itu sendiri merupakan tindak pidana kejahatan seperti yang diatur dalam Bab XIV KUHP (kejahatan kesusilaan) yang dirumuskan dalam Ps.284 KUHP.

Jadi berdasarkan kedua pasal di atas, Ps.506 KUHP menghukum orang yang memberi bantuan dengan tujuan mencari keuntungan terhadap kejahatan perbuatan cabul yang disebut dalam Ps.284 KUHP. Misalnya calo yang menawarkan atau menyediakan tempat untuk perbuatan cabul.

Jika Ps.506 jo. Ps.284 KUHP dihubungkan dengan Ps.21 ayat (4) KUHAP, memberi wewenang bagi penyidik untuk melakukan penangkapan terhadap pelanggaran Ps.506 KUHP, sekalipun Ps.506 KUHP merupakan tindak pidana pelanggaran. Malah jika diperhatikan lebih lanjut, Ps.506 KUHP termasuk kelompok tindak pidana yang dapat dilakukan penahanan terhadap pelakunya berdasarkan Ps.21 ayat (4) huruf b KUHAP.

Jadi pada dasarnya penangkapan dilakukan oleh penyidik dan penangkapan itu tidak boleh dilakukan terhadap tersangka yang melakuan tindak pidana pelanggaran, kecuali telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah. Namun, prinsip ini tidak mutlak berlaku untuk semua tindak pidana pelanggaran.

Setelah kita membahas kewenangan penyidik dalam melakukan penahanan terhadap tersangka pelanggaran, Penulis mencoba mengajak pembaca terkait penahanan yang dilakukan oleh Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja). Karena memang akhir-akhir ini, kita mungkin pernah melihat di berita atau menyaksikan sendiri ketika Satpol PP melakukan penertiban di tempat-tempat umum, lantas para pedagang kaki lima tersebut ditahan dengan alasan telah melakukan pelanggaran terhadap ketertiban umum.

Sebelum itu kita harus tahu terlebih dahulu, tugas dan wewenang dari Satpol PP, yakni :
a.       Melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah.
b.      Menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang menganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.
c.       Fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan perlindungan masyarakat.
d.      Melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah.
e.       Melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah.

Tindakan penertiban nonyustisial adalah tindakan yang dilakukan oleh Polisi Pamong Praja dalam rangka menjaga dan/atau memulihkan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat terhadap pelanggaran Perda dan/atau peraturan kepala daerah dengan cara yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak sampai proses peradilan. Sedangkan yang dimaksud dengan menindak adalah melakukan tindakan hukum terhadap pelanggaran Perda untuk diproses melalui peradilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Jadi, tidak ada tugas dan wewenang yang diberikan kepada Satpol PP untuk melakukan penangkapan terhadap tersangka pelaku pelanggaran ketertiban umum. Dengan kata lain, Satpol PP bukanlah pihak yang berwenang melakukan penangkapan terhadap orang yang melakukan pelanggaran ketertiban umum. Wewenang yang diberikan adalah tindakan dalam rangka menjaga dan/atau memulihkan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat terhadap pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah, tapi tidak sampai proses peradilan.

Sebagai tambahan informasi, hubungan kerja sama antara Satpol PP dengan Kepolisian antara lain yaitu :
a.       Dalam melaksanakan tugasnya, Polisi Pamong Praja wajib melaporkan kepada Kepolisian atas ditemukannya atau patut diduga adanya tindak pidana.
b.      Satpol PP dalam melaksanakan tugasnya dapat meminta bantuan dan/atau bekerja sama dengan Kepolisian dan/atau lembaga lainnya dan peran Satpol PP selaku koordinator operasi lapangan.
c.       Satpol PP mempunyai fungsi pelaksanaan koordinasi penegakan Perda dan peraturan kepala daerah, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat dengan Kepolisian.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

SELAYAMG PANDANG TERHADAP CV (COMMANDITAIRE VENNOOTSCHAP)

PROSEDUR PENDIRIAN CV, SERTA AKIBAT HUKUM KEPADA SEKUTU AKTIF MAUPUN PASIF APABILA CV BERHADAPAN DENGAN HUKUM Selain Perseroan Terbatas, salah satu bentuk usaha yang banyak dibuat di Indonesia adalah CV. CV sendiri adalah singkatan dari Commanditaire Vennootschap . Seperti Perseroan Terbatas, pembuatan CV juga melalui beberapa mekanisme dan perjanjian, tetapi prosesnya lebih mudah jika dibandingkan dengan PT. CV yang dikenal juga dengan istilah Persekutuan Komanditer di Indonesia (Ps. 19 KUHD), merupakan persekutuan yang didirikan oleh satu atau beberapa orang untuk melakukan usaha di bidang yang telah disepakati. Dalam undang-undang dijelaskan jika pendirian CV didirikan oleh seorang atau lebih dimana satu orang bertindak sebagai pemimpin sementara pihak lainnya hanya sebagai penyimpan barang atau modal. CV terdiri dari sekutu aktif / komplementer dan sekutu pasif / komanditer yang perbedaan tanggung jawabnya adalah sebagai berikut : 1.       Sekutu aktif be

PERKARA TUN YANG KANDAS DI DISMISSAL PROCESS

BANYAK PERKARA TUN YANG KANDAS DI DISMISSAL PROCESS KARENA KETIDAK TAHUAN ATAU KEKELIRUAN PARA ADVOKAT / PENGGUGAT Membawa sengketa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tidak selalu berjalan mulus. Ada proses yang harus pertama kali dilewati oleh setiap penggugat yang mendaftarkan perkaranyadi PTUN. Yakni, tahap pemeriksaan persiapan (administrasi) atau dismissal process . Tidak sedikit gugatan tata usaha Negara justru berhenti di tahap ini. Sepanjang catur wulan pertama 2010, PTUN Jakarta mencatat delapan perkara yang kandas pada dismissal process . Rinciannya, empat perkara pada Januari, dua perkara pada Februari, dan masing-masing satu perkara pada Maret dan April. Perkara pajak dan merek termasuk yang terhambat pada tahap ini. Pada dasarnya, dismissal process adalah kewenangan Ketua Pengadilan (PTUN) yang diberikan oleh undang-undang untuk menyeleksi perkara-perkara yang dianggap tidak layak untuk disidangkan oleh majelis. Pasalnya, apabila perkara tersebut

SURAT KETERANGAN KEPEMILIKAN TANAH ATAU SKT

PROSEDUR MENGURUS SURAT KETERANGAN KEPEMILIKAN TANAH ATAU SKT Surat Kepemilikan Tanah (SKT) pada dasarnya menegaskan mengenai riwayat tanah. Surat keterangan riwayat tanah tersebut merupakan salah satu alat bukti tertulis untuk menunjukkan kepemilikan tanah guna kepentingan proses pendaftaran tanah. Secara eksplisit, memang tidak diatur mengenai tata cara untuk memperoleh SKT dalam PP No.24 Tahun 1997. Namun, SKT tidak diperlukan lagi sebagai salah satu syarat dalam pendaftaran tanah. Menurut Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (pada saat itu, Ferry Mursyidan Baldan), Surat Kepemilikan Tanah itu sebetulnya menegaskan riwayat tanah. SKT di perkotaan tidak dibutuhkan lagi menjadi syarat mengurus sertifikat tanah. Surat keterangan riwayat tanah tersebut merupakan salah satu alat bukti tertulis untuk menunjukkan kepemilikan tanah. Bukti kepemilikan itu pada dasarnya terdiri dari bukti kepemilikan atas nama pemegang hak pada waktu berlakunya UU No.5