MAKNA INTIMIDASI MENURUT HUKUM PIDANA
Di era sekarang ini,
jaman semakin maju. Laju perkembangan teknologi pun seolah tidak dapat kita
hentikan, karena orang-orang berlomba-lomba untuk meningkatkan kualitas
teknologi yang ada. Dengan perkembangan teknologi yang semakin maju, terkadang
beberapa “orang” justru memanfaatkan teknologi tersebut untuk hal-hal yang
negatif, sebut saja “mengintimidasi”.
Bukan hal yang aneh,
karena Penulis beranggapan di era sekarang ini yang sudah memasuki pasar bebas,
sudah barang tentu setiap orang bersaing demi mengejar profit, dan bukan tidak
mungkin dengan menghalalkan segala cara. Apabila ada yang merasa, kepentingannya
terganggu, maka mereka mencoba untuk mengintimidasi orang tersebut agar
kepentingannya bisa maju lagi.
Namun, yang perlu kita
pahami adalah seperti apa intimidasi itu. Dalam artikel ini, Penulis mencoba
mengulas baik dari segi tata bahasa maupun dari segi hukum pidana, apakah yang
dimaksud dengan intimidasi tersebut. Intimidasi secara leksikal diartikan
sebagai perbuatan menakut-nakuti atau mengancam. Setelah Penulis telusuri,
tidak ada lema “intimidasi” dalam Buku II KUHP. Tetapi ada beberapa pasal yang
memuat frasa “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan” yang dimaknai ada
intimidasi pelaku kepada saksi/korban. Hanya, pembentuk undang-undang tidak
memberikan penjelasan bagaimana kekerasan atau ancaman kekerasan itu dilakukan.
Undang-undang memang
tidak memberikan penjelasan tentang bagaimana ancaman dengan kekerasan (bedreiging met geweld) itu dilakukan. Maknanya
berkembang dalam yurisprudensi. Berdasarkan doktrin dan yurisprudensi yang
berkembang, ancaman itu menggunakan tenaga meskipun hanya sedikit. Dalam beberapa
kali putusan Hoge Raad dapat disimpulkan bahwa ancaman itu harus memenuhi
syarat, yaitu:
a.
Ancaman itu harus diucapkan dalam
keadaan yang sedemikian rupa, sehingga dapat menimbulkan kesan pada orang yang
diancam, bahwa yang diancamkan itu benar-benar akan dapat merugikan kebebasan
pribadinya.
b.
Maksud pelaku memang telah ditujukan
untuk menimbulkan kesan tersebut.
Intimidasi
Menurut Peraturan Perundang-undangan
Pada kata intimidasi
terkandung makna secara memaksa, menggertak atau mengancam. Pencarian yang
penulis lakukan terhadap KUHP, khususnya Buku II (Kejahatan), tidak ada tertera
langsung lema “intimidasi”. Dalam hukum pidana Indonesia, “intimidasi” umumnya
dirumuskan sebagai “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan” (door geweld atau door bedreiging met geweld). Rumusan ini dapat ditemukan pada Ps.146
KUHP mengenai penggunaan “kekerasan atau dengan ancaman kekerasan” mengganggu
sidang legislatif :
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan membubarkan rapat
badan pembentuk undang-undang, badan pemerintahan atau badan perwakilan rakyat,
yang dibentuk oleh atau atas nama Pemerintah, atau memaksa badan-badan itu
supaya mengambil atau tidak mengambil sesuatu putusan atau mengusir ketua atau
anggota rapat itu, diancama dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun”.
Tetapi dalam tindak
pidana di luar KUHP, rumusan intimidasi itu juga dikenal. Misalnya istilah “ancaman
kekerasan” yang dirumuskan dalam UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasa
Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO). Di sini, ancaman kekerasan dimaknai
sebagai setiap perbuatan secara melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar,
simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan atau tanpa menggunakan sarana yang
menimbulkan rasa takut atau mengekang kebebasan hakiki seseorang.
UU No.23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan UU No.17 Tahun 2016 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua Atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi UU
(UU No.17 Tahun 2016) juga menggunakan frasa “ancaman kekerasan” untuk
menggambarkan intimidasi. Misalnya Ps. 81 ayat (1) UU No.17 Tahun 2016 jo. Ps.
76D UU No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yang berbunyi :
Ps. 76D UU No.35 Tahun
2014 :
“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”.
Ps. 81 ayat (1) UU
No.17 Tahun 2016 :
“Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Ps.76D
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun
dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000”.
Pertanyaannya adalah,
apa yang dimaksud dengan intimidasi dalam konsep pidana adalah kekerasan atau
ancaman kekerasan? R. Soesilo menyebutkan kekerasan adalah mempergunakan
kekuatan atau kekuasaan yang agak besar secara tidak sah. Definisi melakukan
kekerasan dalam KUHP disebut dalam Ps.89 KUHP yakni menggunakan tenaga atau
kekuatan jasmani tidak kecil dan tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau
dengan segala macam senjata, menyepak, menendang, dan sebagainya. Yang disamakan
dengan “melakukan kekerasan” adalah membuat orang menjadi pingsan atau tidak
berdaya lagi.
Intimidasi
Menurut Doktrin (Pandangan Ahli) dan Yurisprudensi
Dalam doktrin, ada
beberapa pandangan mengenai unsur dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. D.
Simons berpendapat kekerasan adalah setiap penggunaan tenaga badan yang tidak
terlalu tidak berarti, atau tidak terlalu ringan. TJ Noyon dan GE Langemeijer berpendapat
geweld merupakan suatu krachtdalig optreden atau suatu
perbuatan bertindak dengan tenaga. Namun, menurut kedua ahli pidana Belanda
ini, tidak setiap pemakaian tenaga dapat dimasukkan ke dalam pengertian
kekerasan. Misalnya, jika hanya tenaga ringan.
Masalahnya, UU memang
tidak memberikan penjelasan tentang bagaimana ancaman dengan kekerasan (bedreiging met geweld) itu dilakukan. Alhasil,
maknanya berkembang dalam yurisprudensi.
Menurut Hoge Raad dalam
beberapa arrest membuat syarat adanya
ancaman itu, yaitu:
a.
Ancaman itu harus diucapkan dalam
keadaan yang sedemikian rupa, sehingga dapat menimbulkan kesan pada orang yang
diancam, bahkan yang diancamkan itu benar-benar akan dapat merugikan kebebasan
pribadinya.
b.
Maksud pelaku memang telah ditujukan
untuk menimbulkan kesan tersebut.
Contohnya, perbuatan
mengancam akan menembak mati seseorang jika orang yang diancam tidak memenuhi
keinginan pengancam. Perbuatan ini adalah suatu perbuatan mengancam dengan
kekerasan. Jika ia melepaskan tembakan, tembakan itu tidak selalu menghapus
kenyataan bahwa pelaku sebenarnya hanya bermaksud untuk mengancam.
Frasa “memaksa orang”
juga bisa dilihat dalam Ps.368 ayat (1) dan 369 ayat (1) KUHP.
Ps.368 ayat (1) KUHP :
“Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang
lain dengan melawan hak, memaksa orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan,
supaya orang itu memberikan barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk
kepunyaan orang itu sendiri kepunyaan orang lain atau supaya orang itu membuat
utang atau menghapuskan piutang dihukum karena memeras dengan hukuman penjara
selama-lamanya Sembilan tahun”.
Ps.369 ayat (1) KUHP :
“Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang
lain dengan melawan hak, memaksa orang dengan ancaman akan menista dengan lisan
atau menista dengan tulisan atau dengan ancaman akan membuka rahasia, supaya
orang itu memberikan sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk
kepunyaan orang itu sendiri atau kepunyaan orang lain, atau supaya orang itu
membuat utang atau menghapuskan piutang, dihukum karena mengancam dengan
hukuman penjara selama-lamanya empat tahun”.
Ps.368 disebut
pemerasan dengan kekerasan (afpersing),
sedangkan Ps.369 disebut pemerasan dengan menista (afreiging atau chatage). Bedanya
terletak pada alat yang digunakan untuk memaksa. Ps.368 menggunakan kekerasan
atau ancaman kekerasan, sedangkan Ps.369 menggunakan alat “akan menista atau
menista dengan surat atau akan membuka rahasia”.
Sekedar contoh adalah
ancaman terhadap notaris. Ps.322 KUHP hakikatnya mewajibkan notaris
merahasiakan isi surat hibah wasiat atau geheim
testament. Bisa saja ada orang lain yang mengancam notaris dimaksud dengan
melakukan berbagai cara, misalnya mengancam akan membuka rahasia pribadi di
notaris, jika notaris tidak menyerahkan barang tertentu atau tidak melakukan
perbuatan tertentu.
Penggunaan ancaman juga
disebut dalam Ps.335 ayat (1) KUHP jo. Putusan Mahkamah Konstitusi No.
1/PUU-XI/2013, yaitu dengan melawan hukum memaksa paksaan itu dilakukan dengan
memakai kekerasan atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang
itu sendiri maupun orang lain. Memaksa, menurut R. Soesilo adalah menyuruh
orang melakukan sesuatu sedemikian rupa sehingga orang itu melakukan sesuatu
berlawanan dengan kehendak sendiri.
Komentar
Posting Komentar