Langsung ke konten utama

EKSEKUSI PUTUSAN HAKIM

SYARAT AGAR EKSEKUSI PUTUSAN DAPAT DIJALANKAN KEPADA PIHAK KETIGA YANG MENGUASAI BARANG TERPERKARA



Jenis Putusan Hakim Ditinjau dari Sifatnya

Menurut Yahya Harahap, jenis putusan hakim salah satunya dapat ditinjau dari sifatnya, yakni sebagai berikut:

a.       Putusan Declaratoir
Putusan declaratoir atau deklarator atau deklaratif berisi pernyataan atau penegasan tentang suatu keadaan atau kedudukan hukum semata-mata. Misalnya putusan yang menyatakan ikatan perkawinan yang sah, perjanjian jual-beli sah, dan sebagainya.

Putusan deklarator adalah pernyataan hakim yang tertuang dalam putusan yang dijatuhkannya. Pernyataan itu merupakan penjelasan atau penetapan tentang sesuatu hak atau title maupun status dan pernyataan itu dicantumkan dalam amar atau diktum putusan.

b.      Putusan Constitutief
Putusan constitutief adalah putusan yang memastikan suatu keadaan hukum, baik yang bersifat meniadakan suatu keadaan hukum maupun yang menimbulkan keadaan hukum baru.

c.       Putusan Condemnatoir
Putusan condemnatoir atau kondemnator adalah putusan yang memuat amar menghukum salah satu pihak yang berperkara. Putusan yang bersifat kondemnator merupakan bagian yang tidak terpisah dari amar deklaratif atau konstitutif.

Lebih lanjut, Yahya Harahap menjelaskan bahwa hanya putusan yang bersifat kondemnator yang bisa dieksekusi, yaitu putusan yang amar atau diktumnya mengandung unsur “penghukuman”. Putusan yang amar atau diktumnya tidak mengandung unsur penghukuman, tidak dapat dieksekusi.

Jadi eksekusi terdapat dalam amar putusan yang isinya menghukum salah satu pihak yang berperkara. Pada dasarnya eksekusi merujuk kepada amar (diktum) putusan pengadilan. Eksekusi yang hendak dijalankan pengadilan tidak boleh menyimpang dari amar putusan. Asas ini merupakan patokan yang harus ditaati, supaya eksekusi yang dijalankan tidak melampaui batas kewenangan.

Amar Meliputi Pihak yang Tidak Tergugat

Pada dasarnya, amar putusan meliputi pihak yang tidak ikut digugat, sehingga eksekusi seperti penyerahan dan pengosongan dapat dijalankan (dipaksakan) kepada pihak ketiga, sekalipun tidak menjadi pihak dalam perkara. Seperti contoh berikut :

A menggugat B atas sebidang tanah dengan dalil tanah terperkara adalah milik A berdasarkan warisan yang diperolehnya dari orang tuanya. Secara nyata, tanah terperkara berada di tangan C, akan tetapi C tidak ikut digugat. Pengadilan mengabulkan gugatan A. tanah terperkara dinyatakan milik A, dan selanjutnya menghukum B untuk menyerahkan dan mengosongkannya. Hal yang dipertanyakan di sini adalah apakah amar putusan yang seperti itu dapat menjangkau C, sehingga eksekusi penyerahan dan pengosongan dapat dipaksakan kepada C?

Berdasarkan ilustrasi di atas, eksekusi dapat dijalankan kepada yang menguasai barang terperkara, sekalipun pihak ketiga yang menguasai barang tersebut tidak ikut digugat (sebagai pihak) dalam perkara. Akan tetapi agar asas amar putusan dapat meliputi pihak ketiga yang tidak ikut digugat, diperlukan beberapa syarat. Kalau salah satu syarat tidak terpenuhi, asas amar putusan meliputi pihak yang tidak ikut digugat tidak dapat diterapkan, sehingga eksekusi putusan tidak dapat menjangkau pihak yang tidak ikut digugat sekalipun barang terperkara berada di tangan orang tersebut.

Syarat Eksekusi Dapat Dijalankan kepada Pihak yang Menguasai Barang Terperkara yang Tidak Ikut Digugat

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar amar putusan meliputi pihak yang tidak ikut digugat dapat dijalankan :
  
      1. Barang sengketa berada di tangan pihak yang tidak ikut digugat.

Barang yang disengketakan berada di tangan pihak ketiga, dan sekalipun barang berada di tangannya, dia tidak ikut menjadi pihak yang digugat dalam perkara. Jadi, kalaupun amar putusan dapat menjangkau pihak yang tidak ikut digugat, tetapi jangkauan amar yang demikian hanya dikarenakan terhadap orang yang menguasai (memegang) barang yang diperkarakan. Oleh karena itu, jangkauan amar putusan terhadap pihak yang tidak ikut digugat hanya terbatas pada orang yang menguasai barang itu.

      2. Amar putusan memuat rumusan; “dan terhadap setiap orang yang mendapat hak dari tergugat”.

Amar putusan harus dirangkai dengan rumusan yang menyatakan putusan berlaku terhadap setiap orang (siapa saja) yang mendapat hak dari tergugat. Rumusan amar yang hanya terbatas pada diri tergugat, tidak dapat meliputi orang lain, sekalipun seluruh atau sebagian barang terperkara berada di tangan (penguasaan) orang yang tidak terlibat langsung dalam perkara.

Misalnya, amar putusan yang hanya berbunyi; “Menghukum tergugat untuk mengosongkan dan menyerahkan tanah terperkara kepada penggugat.” Bunyi amar putusan yang demikian tidak meliputi pihak lain, walaupun dia menguasai seluruh atau sebagian tanah terperkara.

Supaya amar putusan punya kekuatan eksekusi terhadap orang lain yang sedang menguasai barang terperkara, amar putusannya harus berbunyi; “Menghukum tergugat serta setiap orang yang mendapat hak dari tergugat untuk mengosongkan dan menyerahkan barang terperkara kepada penggugat.

Intinya, dalam amar tersebut harus ada secara tegas dicantumkan penghukuman meliputi diri setiap orang yang mendapat hak dari tergugat.

3. Adanya barang di tangan pihak yang tidak ikut digugat karena memperoleh dari tergugat.

Syarat ketiga adalah barang terperkara berada di tangan orang yang tidak ikut digugat karena memperoleh hak dari tergugat. Kalau barang terperkara yang berada di tangan pihak yang tidak ikut digugat bukan merupakan hak yang diperolehnya dari tergugat, amar putusan dan eksekusi tidak dapat menjangkau orang tersebut. Misalnya barang terperkara diperolehnya dari orang lain, bukan tergugat.

Perolehan hak dari tergugat tersebut:
-          Dapat secara langsung dari tergugat sendiri.
-          Melalui perantaraan orang lain (kuasa dari tergugat).

Berdasarkan uraian di atas, Penulis berkesimpulan bahwa pada dasarnya amar putusan meliputi pihak yang tidak ikut digugat, sehingga eksekusi seperti penyerahan dan pengosongan dapat dijalankan (dipaksakan) kepada pihak ketiga, sekalipun tidak menjadi pihak dalam perkara. Akan tetapi, dengan beberapa syarat. Apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, maka asas amar putusan meliputi pihak yang tidak ikut digugat tidak dapat diterapkan, sehingga eksekusi putusan tidak dapat menjangkau pihak yang tidak ikut digugat sekalipun barang terperkara berada di tangan orang tersebut.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SELAYAMG PANDANG TERHADAP CV (COMMANDITAIRE VENNOOTSCHAP)

PROSEDUR PENDIRIAN CV, SERTA AKIBAT HUKUM KEPADA SEKUTU AKTIF MAUPUN PASIF APABILA CV BERHADAPAN DENGAN HUKUM Selain Perseroan Terbatas, salah satu bentuk usaha yang banyak dibuat di Indonesia adalah CV. CV sendiri adalah singkatan dari Commanditaire Vennootschap . Seperti Perseroan Terbatas, pembuatan CV juga melalui beberapa mekanisme dan perjanjian, tetapi prosesnya lebih mudah jika dibandingkan dengan PT. CV yang dikenal juga dengan istilah Persekutuan Komanditer di Indonesia (Ps. 19 KUHD), merupakan persekutuan yang didirikan oleh satu atau beberapa orang untuk melakukan usaha di bidang yang telah disepakati. Dalam undang-undang dijelaskan jika pendirian CV didirikan oleh seorang atau lebih dimana satu orang bertindak sebagai pemimpin sementara pihak lainnya hanya sebagai penyimpan barang atau modal. CV terdiri dari sekutu aktif / komplementer dan sekutu pasif / komanditer yang perbedaan tanggung jawabnya adalah sebagai berikut : 1.       Sekutu aktif be

PERKARA TUN YANG KANDAS DI DISMISSAL PROCESS

BANYAK PERKARA TUN YANG KANDAS DI DISMISSAL PROCESS KARENA KETIDAK TAHUAN ATAU KEKELIRUAN PARA ADVOKAT / PENGGUGAT Membawa sengketa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tidak selalu berjalan mulus. Ada proses yang harus pertama kali dilewati oleh setiap penggugat yang mendaftarkan perkaranyadi PTUN. Yakni, tahap pemeriksaan persiapan (administrasi) atau dismissal process . Tidak sedikit gugatan tata usaha Negara justru berhenti di tahap ini. Sepanjang catur wulan pertama 2010, PTUN Jakarta mencatat delapan perkara yang kandas pada dismissal process . Rinciannya, empat perkara pada Januari, dua perkara pada Februari, dan masing-masing satu perkara pada Maret dan April. Perkara pajak dan merek termasuk yang terhambat pada tahap ini. Pada dasarnya, dismissal process adalah kewenangan Ketua Pengadilan (PTUN) yang diberikan oleh undang-undang untuk menyeleksi perkara-perkara yang dianggap tidak layak untuk disidangkan oleh majelis. Pasalnya, apabila perkara tersebut

SURAT KETERANGAN KEPEMILIKAN TANAH ATAU SKT

PROSEDUR MENGURUS SURAT KETERANGAN KEPEMILIKAN TANAH ATAU SKT Surat Kepemilikan Tanah (SKT) pada dasarnya menegaskan mengenai riwayat tanah. Surat keterangan riwayat tanah tersebut merupakan salah satu alat bukti tertulis untuk menunjukkan kepemilikan tanah guna kepentingan proses pendaftaran tanah. Secara eksplisit, memang tidak diatur mengenai tata cara untuk memperoleh SKT dalam PP No.24 Tahun 1997. Namun, SKT tidak diperlukan lagi sebagai salah satu syarat dalam pendaftaran tanah. Menurut Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (pada saat itu, Ferry Mursyidan Baldan), Surat Kepemilikan Tanah itu sebetulnya menegaskan riwayat tanah. SKT di perkotaan tidak dibutuhkan lagi menjadi syarat mengurus sertifikat tanah. Surat keterangan riwayat tanah tersebut merupakan salah satu alat bukti tertulis untuk menunjukkan kepemilikan tanah. Bukti kepemilikan itu pada dasarnya terdiri dari bukti kepemilikan atas nama pemegang hak pada waktu berlakunya UU No.5