PERMASALAHAN PERKAWINAN CAMPURAN DAN HARTA BERSAMA
Jika
seseorang dengan kapasitas sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) akan menikah
dengan warga Negara asing (WNA) di Indonesia, maka perkawinan tersebut adalah
Perkawinan Campuran, sebagaimana diatur dalam Ps.57 UU No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang menyatakan :
“Yang dimaksud
dengan perkawinan campuran dalam Undang-Undang ini adalah perkawinan antara dua
orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia.”
Perkawinan
campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat
perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing
telah dipenuhi, yang dibuktikan dengan surat keterangan bahwa syarat-syarat
telah dipenuhi dari pihak yang berwenang mencatatkan perkawinan menurut hukum
yang berlaku bagi masing-masing pihak.[1]
Jika
pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan, maka atas
permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan (dengan tidak
beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi) tentang apakah penolakan
pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak. Jika Pengadilan memutuskan
bahwa penolakan tidak berasalan, maka keputusan itu menjadi pengganti
keterangan. Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak
mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6
bulan sesudah keterangan itu diberikan.[2]
Perkawinan di
Luar Indonesia
Akan
tetapi, jika seseorang Warga Negara Indonesia menikah di Luar Negeri, berarti
perkawinan tersebut adalah Perkawinan di Luar Indonesia sebagaimana diatur
dalam Ps.56 UU Perkawinan :
1.
Perkawinan yang
dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau
seorang warganegara Indonesia dengan warganegara asing adalah sah bilamana
dilakukan menurut hukum yang berlaku di Negara dimana perkawinan itu
dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar
ketentuan-ketentuan UU ini.
2.
Dalam waktu 1
(satu) tahun setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti
perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat
tinggal mereka.
Jadi,
dalam perkawinan di luar Indonesia, ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi
antara lain :
a.
Dilakukan
menurut hukum yang berlaku di Negara mana perkawinan itu dilangsungkan. Apabila
suatu pernikahan dilakukan di Prancis, maka pernikahan tersebut harus sesuai
dengan hukum Prancis, dan kemudian dicatatkan pada institusi Catatan Sipil
setempat.
b.
Bagi
WNI, perkawinan tidak melanggar ketentuan UU Perkawinan. Maka dari itu,
perkawinan campuran tetap harus tunduk pada ketentuan-ketentuan dalam UU
Perkawinan.
c.
Apabila
perkawinan tersebut hendak dilakukan di Prancis (Luar Negeri), maka WNI harus
melakukan pencatatan dan pelaporan pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di
Indonesia dalam kurun waktu 1 (satu) tahun.
Harta Bersama
dan Perjanjian Perkawinan
WNI
yang menikah dengan WNA, setelah perkawinan, memang tidak diperbolehkan untuk
memiliki hak atas tanah yang berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha ataupun Hak
Bangunan. Hal demikian sesuai dengan Ps.35 UU Perkawinan yang menyatakan bahwa
harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. jadi, ada
percampuran harta yang diperoleh selama perkawinan dan pasangan (yang berstatus
WNA) akan turut menjadi pemilik atas harta bersama tersebut. Sedangkan merujuk
pada ketentuan UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
WNA tidak boleh memiliki Hak Milik, Hak Guna Usaha ataupun Hak Guna Bangunan.
Karena
itulah, seorang WNI yang menikah dengan WNA, setelah menikah tidak bisa lagi
memperoleh Hak Milik, atau Hak Guna Bangunan, atau Hak Guna Usaha, karena akan
menjadi bagian dari harta bersama yang dimilikinya dengan pasangan WNA-nya. Apabila
WNI tersebut tetap memiliki hak atas tanah setelah melakukan perkawinan dengan
WNA, maka WNI tersebut harus membuat perjanjian perkawinan atau perjanjian pra
nikah yang mengatur mengenai pemisahan harta WNI tersebut dengan pasangannya
yang WNA.
Perjanjian
kawiln boleh dibuat pada waktu, sebelum atau selama dalam ikatan perkawinan. Hal
ini diatur dalam Ps.29 UU Perkawinan jo. Putusan Mahkamah Konstitusi No.
69/PUU-XIII/2015 :
1.
Pada waktu,
sebelum dilangsungkan, atau selama dalam ikatan perkawinan, kedua belah pihak
atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan
oleh Pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga
terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
2.
Perjanjian tersebut
tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
3.
Perjanjian tersebut
mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam
Perjanjian Perkawinan.
4.
Selama perkawinan
berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau
perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua
belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau
pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.
Berdasarkan
Surat Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam
Negeri No: 472.2/5876/DUKCAPIL tanggal 19 Mei 2017, perjanjian perkawinan dapat
dibuat sebelum, pada saat, dan selama perkawinan berlangsung dengan akta
notaris dan dilaporkan kepada Instansi Pelaksana atau Unit Pelaksana Teknis
(UPT) Instansi Pelaksana. Terhadap pelaporan perjanjian perkawinan tersebut,
Pejabat Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana atau UPT Instansi Pelaksana
membuat catatan pinggir pada register akta dan kutipan akta perkawinan.
Menurut
advokat Anita D.A. Kolopaking dalam makalahnya berjudul “Kepemilikan Tanah oleh Warga Negara Asing” perjanjian perkawinan
yang lazim disepakati antara lain berisi:
1.
Harta
bawaan ke dalam perkawinan, baik harta yang diperoleh dari usaha masing-masing
maupun dari hibah, warisan ataupun cuma-cuma yang diperoleh masing-masing
selama perkawinan.
2.
Semua
hutang yang dibawa oleh suami atau istri dalam perkawinan mereka yang dibuat
oleh mereka selama perkawinan tetap akan menjadi tanggungan suami atau istri.
3.
Istri
akan mengurus harta pribadinya baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak
dan dengan tugas memungut (menikmati) hasil dan pendapatan baik hartanya itu
maupun pekerjaannya atau sumber lain.
4.
Untuk
mengurus hartanya itu isteri tidak memerlukan bantuan atau kuasa dari suami.
5.
Dan
lain sebagainya.
Komentar
Posting Komentar