Langsung ke konten utama

KASASI & PK

PERBEDAAN KASASI DEMI KEPENTINGAN HUKUM DENGAN PENINJAUAN KEMBALI







Upaya Hukum

Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP.[1] Upaya hukum tersebut terdiri dari :
1.      Upaya hukum biasa[2]:
a.       Banding;
b.      Kasasi.

2.      Upaya hukum luar biasa[3]:
a.       Kasasi Demi Kepentingan Hukum;
b.      Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap.

Kasasi Demi Kepentingan Hukum

Pengaturan mengenai Kasasi Demi Kepentingan Hukum dapat kita lihat pada Ps.259 ayat (1) KUHAP yang berbunyi :
“Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, dapat diajukan satu kali permohonan kasasi oleh Jaksa Agung.”

Menurut Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (hal. 608), terhadap semua putusan kecuali putusan Mahkamah Agung, dapat diajukan kasasi demi kepentingan hukum, dengan syarat putusan pengadilan itu telah berkekuatan hukum tetap, dan hanya terbatas pada putusan Pengadilan Negeri dan atau putusan Pengadilan Tinggi. Sedangkan terhadap putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan tetap, tidak dapat diajukan upaya hukum kasasi demi kepentingan hukum.

Putusan Kasasi Demi Kepentingan Hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan.[4] Permohonan kasasi demi kepentingan hukum disampaikan secara tertulis oleh Jaksa Agung kepada Mahkamah Agung melalui panitera pengadilan yang telah memutus perkara dalam tingkat pertama, disertai risalah yang memuat alasan permintaan itu.[5]

Peninjauan Kembali

Memeriksa dan memutus permohonan Peninjauan Kembali (“PK”) adalah salah satu tugas dan wewenang Mahkamah Agung yang terdapat dalam Ps.28 ayat (1) huruf c UU No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah terakhir kalinya dengan UU No.3 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas UU No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang berbunyi :
“Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Peninjauan kembali dapat dilakukan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap oleh terpidana atau ahli warisnya kepada Mahkamah Agung. Tetapi permohonan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan terhadap putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum.[6]

Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar :[7]
a.       Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
b.      Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain.\
c.       Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Dalam Ps.268 ayat (3) KUHAP berbunyi “Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja”.

Ketentuan di atas juga dipertegas dalam Ps.24 ayat (2) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa terhadap putusan PK tidak dapat diajukan PK kembali. Ketentuan ini juga dipertegas Mahkamah Agung dengan menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung No.7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana yang mengatur bahwa PK hanya bisa dilakukan satu kali.

Perbedaan Upaya Hukum Kasasi Demi Kepentingan Hukum dengan Upaya Hukum Peninjauan Kembali

Memang benar upaya hukum Kasasi Demi Kepentingan Hukum dan Peninjauan Kembali sama-sama merupakan upaya hukum luar biasa, tetapi antara keduanya memiliki beberapa perbedaan. Berdasarkan uraian yang telah Penulis kemukakan di atas, berikut perbedaan antara upaya hukum Kasasi Demi Kepentingan Hukum dengan upaya hukum Peninjauan Kembali:

Pembeda
Kasasi Demi Kepentingan Hukum
Peninjauan Kembali
Ruang lingkup
Dilakukan terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, terbatas hanya pada putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi.[8]
Dilakukan terhadap putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap yang diputus oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung.[9]
Pihak yang mengajukan
Jaksa Agung[10]
Terpidana dan ahli warisnya. Jaksa Penuntut Umum tidak berhak mengajukan peninjauan kembali.[11]
Jenis putusan yang bisa dilakukan upaya hukum
Dapat dilakukan terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung (dapat diajukan satu kali permohonan kasasi oleh Jaksa Agung).[12]
Dapat dilakukan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Tidak dapat dilakukan terhadap putusan bebas atau putusan lepas.[13]



[1] Pasal 1 angka 12 KUHAP (UU No.8 Tahun 1981).
[2] Bab XVII KUHAP.
[3] Bab XVIII KUHAP.
[4] Pasal 259 ayat (2) KUHAP.
[5] Pasal 260 ayat (1) KUHAP.
[6] Pasal 263 ayat (1) KUHAP jo. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 33/PUU-XIV/2016.
[7] Pasal 263 ayat (2) KUHAP.
[8] Pasal 259 ayat (1) KUHAP.
[9] Pasal 263 KUHAP.
[10] Pasal 260 ayat (1) KUHAP.
[11] Pasal 263 ayat (1) KUHAP jo. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 33/PUU-XIV/2016 dan Yahya Harahap, hal.616.
[12] Pasal 259 ayat (1) KUHAP.
[13] Pasal 263 KUHAP.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SELAYAMG PANDANG TERHADAP CV (COMMANDITAIRE VENNOOTSCHAP)

PROSEDUR PENDIRIAN CV, SERTA AKIBAT HUKUM KEPADA SEKUTU AKTIF MAUPUN PASIF APABILA CV BERHADAPAN DENGAN HUKUM Selain Perseroan Terbatas, salah satu bentuk usaha yang banyak dibuat di Indonesia adalah CV. CV sendiri adalah singkatan dari Commanditaire Vennootschap . Seperti Perseroan Terbatas, pembuatan CV juga melalui beberapa mekanisme dan perjanjian, tetapi prosesnya lebih mudah jika dibandingkan dengan PT. CV yang dikenal juga dengan istilah Persekutuan Komanditer di Indonesia (Ps. 19 KUHD), merupakan persekutuan yang didirikan oleh satu atau beberapa orang untuk melakukan usaha di bidang yang telah disepakati. Dalam undang-undang dijelaskan jika pendirian CV didirikan oleh seorang atau lebih dimana satu orang bertindak sebagai pemimpin sementara pihak lainnya hanya sebagai penyimpan barang atau modal. CV terdiri dari sekutu aktif / komplementer dan sekutu pasif / komanditer yang perbedaan tanggung jawabnya adalah sebagai berikut : 1.       Sekutu aktif be

PERKARA TUN YANG KANDAS DI DISMISSAL PROCESS

BANYAK PERKARA TUN YANG KANDAS DI DISMISSAL PROCESS KARENA KETIDAK TAHUAN ATAU KEKELIRUAN PARA ADVOKAT / PENGGUGAT Membawa sengketa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tidak selalu berjalan mulus. Ada proses yang harus pertama kali dilewati oleh setiap penggugat yang mendaftarkan perkaranyadi PTUN. Yakni, tahap pemeriksaan persiapan (administrasi) atau dismissal process . Tidak sedikit gugatan tata usaha Negara justru berhenti di tahap ini. Sepanjang catur wulan pertama 2010, PTUN Jakarta mencatat delapan perkara yang kandas pada dismissal process . Rinciannya, empat perkara pada Januari, dua perkara pada Februari, dan masing-masing satu perkara pada Maret dan April. Perkara pajak dan merek termasuk yang terhambat pada tahap ini. Pada dasarnya, dismissal process adalah kewenangan Ketua Pengadilan (PTUN) yang diberikan oleh undang-undang untuk menyeleksi perkara-perkara yang dianggap tidak layak untuk disidangkan oleh majelis. Pasalnya, apabila perkara tersebut

SURAT KETERANGAN KEPEMILIKAN TANAH ATAU SKT

PROSEDUR MENGURUS SURAT KETERANGAN KEPEMILIKAN TANAH ATAU SKT Surat Kepemilikan Tanah (SKT) pada dasarnya menegaskan mengenai riwayat tanah. Surat keterangan riwayat tanah tersebut merupakan salah satu alat bukti tertulis untuk menunjukkan kepemilikan tanah guna kepentingan proses pendaftaran tanah. Secara eksplisit, memang tidak diatur mengenai tata cara untuk memperoleh SKT dalam PP No.24 Tahun 1997. Namun, SKT tidak diperlukan lagi sebagai salah satu syarat dalam pendaftaran tanah. Menurut Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (pada saat itu, Ferry Mursyidan Baldan), Surat Kepemilikan Tanah itu sebetulnya menegaskan riwayat tanah. SKT di perkotaan tidak dibutuhkan lagi menjadi syarat mengurus sertifikat tanah. Surat keterangan riwayat tanah tersebut merupakan salah satu alat bukti tertulis untuk menunjukkan kepemilikan tanah. Bukti kepemilikan itu pada dasarnya terdiri dari bukti kepemilikan atas nama pemegang hak pada waktu berlakunya UU No.5