PERKETAT PENGAWASAN DENGAN MEMBENTUK SATGAS PENGAWASAN KOPERASI DI TINGKAT KABUPATEN / KOTA
Maraknya investasi ilegal
berkedok koperasi membuat gerah sejumlah kalangan masyarakat, khususnya
masyarakat dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Karena mereka berharap
dengan adanya investasi tersebut, dapat membantu terhadap kebutuhan hidup
sehari-hari. Maka dari itu, mengingat sebagian masyarakat cenderung ingin
mendapat uang dengan cepat dan mudah, maka Kemenkop UKM akan melakukan
pengawasan secara optimal.
Pengawasan ini
dilakukan dengan berlandaskan pada Permenkop dan UKM No. 17/Per/M.KUKM/IX/2015.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaan koperasi oleh
pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan
wilayah keanggotaan koperasi. Selain itu, juga untuk meningkatkan kesadaran
para pengelola koperasi dalam mewujudkan kondisi koperasi berkualitasn dengan
peraturan yang berlaku.
Masalah keterbatasan
SDM menjadi isu dominan dalam pelaksanaan fungsi pengawasan koperasi. Persoalan
lainnya, terjadinya mutasi pegawai sehingga berdampak pada keterbatasan
regenerasi pegawai yang memahami perkoperasian menjadi kendala yang dihadapi
dalam melaksanakan pengawasan koperasi.
Meski begitu, Satgas
yang dibentuk bersifat ad hoc itu diharapkan dapat mengatasi kendala tersebut. Atas
dasar itu, anggota Satgas perlu dibekali pengetahuan dan keterampilan yang baik
mengenai pengawasan yang sudah diakomodir dalam modul dan diklat yang telah
disusun.
Dalam artikel ini,
Penulis mencoba memaparkan sejumlah kasus penyalahgunaan izin koperasi yang
menghimpun dana dari masyarakat itu antara lain dilakukan oleh PT Cakrabuana
Sukses Indonesia (CSI) di Cirebon. PT CSI mendirikan koperasi simpan pinjam dan
pembiayaan syariah (KSPPS) menghimpun dana dari masyarakat melalui investasi
emas dan tabungan dengan imbal hasil sebesar 5% per bulan. KSPPS BMT CSI Madani
Nusantara Kota Cirebon dan KSP Pandawa Mandiri Group di Depok, Jawa Barat juga
melakukan praktik sama.
Penulis mengambil
contoh tentang kasus KSP Pandawa Mandiri Group, yang melakukan tindakan
menghimpun dana dari masyarakat secara ilegal. Berdasarkan keterangan dari
Bareskrim Polri dan OJK, KSP Pandawa Mandiri Group melanggar ketentuan Ps. 46
UU Perbankan (UU No. 10 Tahun 1998). Menurut pasal tersebut, pelaku yang
melakukan kegiatan seolah-olah seperti perbankan pada umumnya namun tanpa izin
dari regulator, diancam pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling
banyak Rp. 200 miliar. Ancaman pidana tersebut tidak hanya diberikan terhadap
sang aktor, melainkan siapapun yang turut serta melakukan atau membantu
melakukan kegiatan itu terancam juga dengan pidana menurut Ps. 55 dan Ps. 56
KUHP.
Maka dari itu,
hendaknya upaya preventif dilakukan oleh OJK, PPATK, KPPU dan Bank Dunia. Penulis
berharap, dengan adanya kerjasama dari lembaga-lembaga tersebut dapat
disinergikan dengan pembentukan Satgas Pengawasan Koperasi. Salah satunya dapat
ditempuh melalui kegiatan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat tentang
bagaimana cara berkoperasi yang benar. Hal ini penting, dikarenakan badan usaha
yang dipakai untuk melakukan penghimpunan dana masyarakat adalah koperasi. Maka
dari itu, terkait dengan izin, pengawasan, dan pembinaan entitas koperasi ini
menjadi kewenangan penuh Kemenkop UKM. OJK hanya punya kepentingan berkaitan
dengan aspek perlindungan konsumen atau nasabah yang melakukan investasi pada
koperasi tersebut.
Dari ulasan di atas,
timbul dilema dalam menjerat pelaku investasi ilegal berkedok koperasi. Problemnya
muncul saat izin koperasi tersebut ternyata disalahgunakan, seperti misalnya
yang dilakukan oleh KSP Pandawa Mandiri Group. Sebagaimana diketahui, KSP
Pandawa Mandiri Group yang berada di bawah pimpinan Salman Nuryanto diketahui
punya tiga entitas lainnya selain KSP Pandawa Mandiri Group, yakni Pandawa
Group dan atas nama pribadi Salman Nuryanto. Mengenai izin, anggota dan calon
anggota, KSP Pandawa Mandiri Group dinyatakan beres, artinya tidak ada masalah
oleh Kemenkop.
Setelah diidentifikasi,
nasabah tersebut masuk di pandawa group dan di atas nama pribadinya Salman
dengan membuat kontrak. Yang menjadi pertanyaan, apakah bisa perorangan dalam
group bisa juga sekaligus sebagai pengurus koperasi? Fakta tersebut jelas
mengganjal pemikiran Penulis. Karena, penting untuk memperjelas bagaimana arah
pengawasan dan pembinaan oleh Kemenkop terkait dengan tindakan yang dilakukan
oleh badan usaha koperasi seperti itu.
Akan tetapi, Satgas
Waspada Investasi tidak bisa dengan mudah mendorong kasus ini untuk masuk ke
ranah pengadilan. OJK selaku Ketua Satgas Waspada Investasi juga memiliki
kepentingan terkait aspek perlindungan konsumen. Salah satu caranya adalah
memberikan kesempatan kedua kepada koperasi yang bersangkutan untuk dilakukan
pembinaan oleh Kemenkop. Sewaktu diberikan kesempatan kedua tersebut, koperasi
itu diminta melakukan kewajibannya seperti melengkapi izin ketika izinnya belum
terpenuhi serta melakukan kewajibannya kepada nasabah atau konsumennya.
Apabila tidak dilakukan
kewajiban tersebut, maka Satgas Waspada Investasi baru dapat melakukan
penindakan dalam arti membawa ke ranah pengadilan dengan bukti kuat bahwa
koperasi bersangkutan tidak melakukan kepatuhan pada saat diberikan kesempatan
memperbaiki. Tahapan ini juga diberikan dengan mempertimbangkan agar tidak
terjadi kerugian yang lebih besar bagi konsumen atau nasabah yang telah
terlanjur menghimpun dana dalam koperasi tersebut.
Ciri-ciri investasi
ilegal :
1.
Menjanjikan keuntungan tidak wajar dalam
waktu cepat.
2.
Menjanjikan bonus dari perekrutan
anggota baru “member get member”.
3.
Memanfaatkan tokoh masyarakat / tokoh
agama / public figure untuk menarik minat berinvestasi.
4.
Klaim tanpa risiko.
5.
Legalitas tidak jelas :
a. Tidak
memiliki izin.
b. Memiliki
izin kelembagaan tapi tidak punya izin usaha.
c. Memiliki
izin kelembagaan dan izin usaha namun melakukan kegiatan yang tidak sesuai
izinnya.
Berikut beberapa tips
yang Penulis anjurkan agar tidak menjadi korban investasi bodong :
1.
Masyarakat perlu memperhatikan bunga
yang ditawarkan itu wajar atau tidak. Kemudian setelah itu coba bandingkan
dengan bunga yang ditawarkan oleh perbankan.
2.
Melihat badan hukum perusahaan tersebut.
Siapa yang memberikan izin perusahaan tersebut. Apakah dari Bank Indonesia,
Kementerian Perdagangan, kemudian usaha itu memiliki kompetensi atau tidak. Misalnya
ada PT A, ia menghimpun dana seperti bank itu tidak mungkin, alias ilegal.
3.
Setelah tahu badan hukum dan izin,
masyarakat perlu mengecek kebenaran perusahaan tersebut, apakah benar-benar ada
kegiatan usahanya atau hanya papan nama saja.
4.
Masyarakat juga harus melihat, apakah
perusahaan tersebut cara promosinya secara sembunyi-sembunyi atau terbuka. Apabila
berani secara terbuka, seharusnya pelayanannya akan lebih mudah. Namun jika dia
dilakukan secara sembunyi-sembunyi, kita perlu waspada juga. Biasanya perusahaan
investasi seperti itu lebih banyak melakukan dengan sembunyi-sembunyi, dan
informasinya menyebar dari mulut ke mulut.
Komentar
Posting Komentar