MENGENAL PENGADILAN PROFESI PARA PELAUT
Pada akhir November
2016, Kementerian Perhubungan menyatakan berencana untuk membentuk Pengadilan
Maritim di bawah Mahkamah Pelayaran. Hal itu guna memperkuat penegakan hukum
terhadap berbagai pelanggaran di bidang maritim. Menteri Perhubungan (Menhub)
mensinyalir banyaknya kecelakaan kapal yang jumlahnya terus meningkat
dikarenakan kurangnya disiplin dalam melakukan penegakan hukum.
Namun Penulis mencoba
menganalisa pernyataan Menhub di atas, bahwasanya sebelumnya sudah ada Mahkamah
Pelayaran, sehingga menjadi terkesan sia-sia apabila memang hendak dibentuk
Pengadilan Maritim. Justru apabila Pengadilan Maritim dibentuk maka secara administratif
akan menjadi beban untuk Mahkamah Agung,
dan seolah-olah pembentukan Pengadilan Maritim adalah sebagai bentuk
ketidakpercayaan terhadap penegakan hukum laut yang telah ada selama ini.
Terlepas dari wacana
akan dibentuknya Pengadilan Maritim, selama ini kasus-kasus yang berkaitan
dengan transportasi laut diselesaikan melalui Mahkamah Pelayaran. Mahkamah Pelayaran
berbeda dengan pengadilan hukum lainnya. Hal ini dikarenakan Mahkamah Pelayaran
melakukan pemeriksaan yang sifatnya etika profesi. Sebelum membahas lebih
lanjut, Penulis mencoba mengulas sedikit tentang Mahkamah Pelayaran.
Mahkamah
Pelayaran
Mahkamah Pelayaran
adalah panel ahli yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri
yang bertugas untuk melakukan pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal dan mengacu
kepada UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Ruang lingkup dari UU tersebut
adalah :
a.
Semua kegiatan angkutan di perairan,
kepelabuhan, keselamatan dan keamanan pelayaran, serta perlindungan lingkungan
maritim di perairan Indonesia.
b.
Semua kapal asing yang berlayar di
perairan Indonesia.
c.
Semua kapal berbendera Indonesia yang
berada di luar perairan Indonesia. (Ps. 4 UU No. 17 Tahun 2008)
Mahkamah Pelayaran
memiliki fungsi untuk melaksanakan pemeriksaan lanjutan atas kecelakaan kapal
dan menegakan kode etik profesi dan kompetensi Nahkoda dan/atau perwira kapal
setelah dilakukan pemeriksaan
pendahuluan oleh Syahbandar. Mahkamah Pelayaran berwenang memeriksa tubrukan
yang terjadi antara kapal niaga dengan kapal niaga, kapal niaga dengan kapal Negara,
dan kapal niaga dengan kapal perang. Berikut merupakan tugas-tugas dari
Mahkamah Pelayaran :
a.
Meneliti sebab-sebab kecelakaan kapal
dan menentukan ada atau tidak adanya kesalahan atau kelalaian dalam penerapan
standar profesi kepelautan yang dilakukan oleh Nahkoda dan/atau perwira kapal
atas terjadinya kecelakaan kapal.
b.
Merekomendasikan kepada Menteri mengenai
pengenaan sanksi administratif atas kesalahan atau kelalaian yang dilakukan
oleh Nahkoda dan/atau perwira kapal.
c.
Sanksi administratif berupa peringatan,
pencabutan Sertifikat Keahlian Pelaut.
d.
Dalam pemeriksaan lanjutan, Mahkamah
Pelayaran dapat menghadirkan pejabat pemerintah di bidang keselamatan dan keamanan
pelayaran dan pihak terkait lainnya.
e.
Dalam pemeriksaan lanjutan, pemilik atau
operator kapal wajib menghadirkan Nahkoda dan/atau Anak Buah Kapal.
Berdasarkan tugas-tugas
dari Mahkamah Pelayaran di atas, maka bisa kita simpulkan bahwa Mahkamah Pelayaran
bertujuan untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya kecelakaan kapal dan/atau
menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian dalam penerapan standar
profesi kepelautan yang dilakukan oleh Nahkoda atau pimpinan kapal dan/atau
Perwira Kapal dalam kaitan terjadinya kecelakaan kapal.
Hasil pemeriksaan
dipakai sebagai pedoman langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah
terjadinya kecelakaan kapal dengan sebab-sebab kecelakaan yang sama. Di samping
itu, pemeriksaan dimaksudkan sebagai suatu bentuk pembinaan dan pengawasan bagi
tenaga profesi kepelautan.
Struktur organisasi
Mahkamah Pelayaran yang sekarang berlaku adalah sesuai dengan PP No. 1 Tahun
1998 yakni :
1.
Ketua merangkap sebagai anggota.
2.
Sekretaris.
3.
Anggota.
Persyaratan untuk ketua
dan anggota Mahkamah Pelayaran dapat seorang ANT I, ATT I, Sarjana Hukum atau
Sarjana Teknik. Dalam persidangan susunan keanggotaan adalah menjadi Ketua
Majelis, Anggota Majelis, dan Sekretariat.
Keputusan Mahkamah
Pelayaran merupakan keputusan akhir sesuai dengan Ps.46 PP No. 1 Tahun 1998. Putusan
Mahkamah Pelayaran ditujukan ke Dirjen Hubla dan Sekjen Dephub, dengan tembusan
ke Pengadilan Negeri dan Kejaksaan Negeri setempat, Syahbandar dan pemilik
kapal. Dan perlu untuk diketahui, Mahkamah Pelayaran bukan merupakan lembaga
peradilan. Maka istilah terhadap seseorang yang disangka bersalah diistilahkan
sebagai tersangkut (tidak dipakai istilah tersangka atau terdakwa), untuk itu
seorang tersangkut mempunyai hak-hak yaitu :
1.
Mengambil seorang penasehat ahli (bukan
penasehat hukum atau pembela).
2.
Tidak disumpah.
3.
Minta penundaan sidang.
4.
Melihat naskah-naskah asli.
5.
Menunjuk saksi-saksi.
Sanksi Mahkamah
Pelayaran terhadap Nahkoda dan ABK yang ditemukan melanggar kode etik profesi
bisa berupa penundaan status Nahkoda atau bahkan menempuh pendidikan kembali
untuk memperbaiki kesalahan yang pernah dilakukan oleh seorang Nahkoda. Mahkamah
Pelayaran dibentuk berdasarkan PP No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas PP
No. 1 Tahun 1998 tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal.
Setiap kapal yang
mengalami kecelakaan selalu dilakukan pemeriksaan kecelakaan. Baik kecelakaan
itu terjadi pada kapal berbendera Indonesia yang terjadi di luar wilayah
perairan Indonesia, tetap akan dilakukan pemeriksaan kecelakaan. Mekanisme pemeriksaannya
sendiri meliputi dua tahap, yakni pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan
lanjutan.
Pemeriksaan pendahuluan
dilakukan untuk mencari keterangan maupun alat bukti awal atas terjadinya
kecelakaan kapal. Atas dasar laporan kecelakaan kapal, Syahbandar dan pejabat
pemerintah yang ditunjuk menteri bertugas melakukan pemeriksaan pendahuluan
kecelakaan kapal. Keduanya dapat mencari keterangan yang diperlukan dari
Nahkoda, perwira kapal, ABK, maupun pihak lainnya bila dirasa perlu.
Ps. 2 ayat (2) PP No. 1
Tahun 2008 membedakan lima jenis kecelakaan kapal, yakni kapal tenggelam,
terbakar, tubrukan, kandas dan kecelakaan kapal yang menyebabkan terancamnya
jiwa manusia dan kerugian harta benda. Paling lambat 30 hari sejak diterima
laporan tersebut, Syahbandar dan pejabat pemerintah yang ditunjuk menteri itu
harus membuat kesimpulan atas hasil pemeriksaan dalam format berita acara pemeriksaan
pendahuluan kemudian menyampaikannya kepada menteri.
Apabila berdasarkan
laporan tersebut menteri menduga ada kelalaian dalam penerapan standar profesi
kepelautan oleh Nahkoda, maka paling lambat 14 hari sejak diterima laporan itu,
menteri dapat meminta Mahkamah Pelayaran melakukan pemeriksaan lanjutan. Tujuh hari
sejak diterimanya permintaan pemeriksaan lanjutan itu, ketua Mahkamah Pelayaran
sudah harus membentuk Majelis Mahkamah Pelayaran. Komposisi majelis tersebut
terdiri dari ketua merangkap anggota, dan anggota merangkap majelis dengan
jumlah ganjil sekurang-kurangnya lima orang. Ps. 31 PP No. 1 Tahun 1998 tegas
mengatur setidaknya salah anggota majelis adalah seorang sarjana hukum.
Pada tahap ini,
Mahkamah Pelayaran bertugas meneliti sebab-sebab kecelakaan kapal dan
menentukan apakah ada kesalahan maupun kelalaian dalam penerapan standar
profesi kepelautan yang dilakukan oleh Nahkoda. Bila ada, berdasarkan Ps. 18
huruf b PP No. 1 Tahun 1998, Mahkamah Pelayaran berwenang menjatuhkan sanksi
administratif berupa peringatan dan pencabutan sementara sertifikat keahlian
pelaut untuk bertugas dalam jabatan tertentu di kapal hingga paling lama dua
tahun.
30 hari setelah
dibentuk majelis, sidang majelis yang pertama sudah harus digelar. Sidang dapat
digelar di luar tempat kedudukan Mahkamah Pelayaran sepanjang mendapat izin
dari Ketua Mahkamah Pelayaran. Prosesi sidang itu sendiri digelar secara
terbuka untuk umum, layaknya sidang peradilan di bawah lingkungan Mahkamah
Agung. Selain itu, majelis juga dapat memanggil dan meminta keterangan dari
tersangkut, saksi, ahli, hingga melakukan pemeriksaan lapangan sepanjang
dinilai perlu. Dalam persidangan, Nahkoda yang berstatus tersangkut dapat
didampingi oleh Penasihat Ahli.
Komentar
Posting Komentar