APAKAH PENERIMA KUASA BUKAN ADVOKAT BISA BERACARA DI PENGADILAN?
Ada beberapa ketentuan
yang mengatur bahwa seorang bukan advokat, bisa menerima kuasa dan bersidang di
pengadilan, baik kasus perdata umum, agama, tata usaha Negara maupun kasus
pidana.
Kuasa dalam kasus
perdata misalnya, berdasarkan Ps. 118 Het
Herziene Indonesisch Reglemen / Reglemen
Indonesia yang diperbaharui (HIR), gugata dapat dimasukkan oleh penggugat
atau kuasa hukumnya. Jadi, apabila seseorang ingin beracara di peradilan
perdata, ia tidak harus mewakilkan kepada advokat.
Non
Advokat Sebagai Penerima Kuasa
Seorang bukan Advokat
yang dapat menerima kuasa dan bersidang pada persidangan perdata, pengadilan
agama, dan Tata Usaha Negara adalah :
1.
Jaksa (sebagai Pengacara Negara).
2.
Lembaga Swadaya Masyarakat (lingkungan
hidup).
3.
Biro hukum (Instansi pemerintah, badan
atau lembaga Negara, BUMN, TNI, dan Polri).
4.
Serikat Buruh (Pengadilan Hubungan Industrial).
5.
Keluarga dekat (kuasa insidentil).
Sedangkan untuk
persidangan kasus pidana yang dilakukan oleh oknum TNI, yang dapat menerima
kuasa pada peradilan militer adalah Dinas Hukum TNI, yaitu bantuan hukum
internal yang disediakan TNI untuk membela anggotanya yang diadili di peradilan
militer pada semua tingkatannya.
Dengan adanya UU No. 16
Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, yang menghadirkan partisipasi Negara untuk
mendanai pembelaan terhadap masyarakat miskin, dimungkinkan hadirnya kalangan
non advokat untuk ikut dalam upaya pembelaan terhadap masyarakat miskin
tersebut. Mereka adalah: paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum. Mereka
bisa bersama-sama dengan advokat dicantumkan dalam surat kuasa dalam rangka
melakukan pembelaan hukum.
Syarat
Pemberi Bantuan Hukum Menurut UU Bantuan Hukum
UU Bantuan Hukum dengan
tegas membatasi kalangan non-advokat untuk memberikan bantuan hukum, yaitu
mengharuskan lembaga mereka memenuhi syarat :
a.
Berbentuk badan hukum.
b.
Terakreditasi di Kementrian Hukum dan
HAM RI.
c.
Memiliki kantor atau secretariat yang
tetap.
d.
Memiliki pengurus.
e.
Memiliki program bantuan hukum.
Selain itu, non-advokat
hanya memberikan bantuan hukum di luar persidangan saja. Artinya, jika telah
sampai ke persidangan, yang berhak melakukan pembelaan hukum hanyalah advokat. Hal-hal
terkait pembelaan hukum, seperti membuat dan menandatangani surat gugatan,
jawaban, replik, duplik, daftar alat bukti, kesimpulan, dst., dilarang
dilakukan oleh bukan advokat.
Sampai sekarang belum
ada aturan yang mengatur sanksi hukum bagi kalangan bukan Advokat jika
melakukan pelanggaran terhadap kejadian di atas karena mereka bukan anggota
organisasi Advokat (Perhimpunan Advokat Indonesia – PERADI). Namun jika merasa
dirugikan, mereka bisa dilaporkan ke pihak Kepolisian dengan sangkaan
memberikan keterangan palsu di persidangan.
Namun bagi advokat,
khususnya advokat yang terdaftar di Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI),
pembiaran yang dilakukan oleh advokat, yaitu mengijinkan bukan advokat ikut
menandatangani dokumen-dokumen upaya hukum di persidangan, jelas telah
melanggar kode etik, sudah melakukan malpraktik hukum, yaitu membiarkan pihak
yang tidak punya kapabilitas advokat untuk melakukan upaya hukum di
persidangan.
Kepada yang tertera
namanya pada surat kuasa, bisa dilaporkan kepada Komisi Pengawas Advokat dan
Dewan Kehormatan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) karena membiarkan
terjadinya pelanggaran etik malpraktik Advokat, yaitu membiarkan terjadinya
pembelaan hukum yang dilakukan oleh pihak yang tidak berkompeten dan masuk
dalam kategori menelantarkan klien.
Kesimpulannya, apabila
ada dalam surat kuasa advokat dan bukan advokat, seorang yang bukan advokat
bisa melakukan pembelaan hukum di luar persidangan saja, dan selanjutnya jika
sudah masuk ke pengadilan, hanya advokat saja yang bisa melakukan pembelaan
hukum.
Komentar
Posting Komentar