MASUKAN TERHADAP REVISI UU KEPAILITAN
Pemerintah terus
menggodok masukan dari para pemangku kepentingan UU No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan). Hal ini
tampak dari diterimanya oleh Pemerintah sejumlah masukan sebanyak 33 topik dari
para pemangku kepentingan UU tersebut, dan akan dibahas kembali sebelum naskah
RUU Perubahan UU No. 37 Tahun 2004 diserahkan ke DPR.
Salah satu masukan yang
cukup “krusial” adalah tentang cross-border
insolvency. Seperti yang telah diketahui, Indonesia dan Sembilan Negara ASEAN
menggagas dan berusaha membuat ASEAN Cross-Border Insolvency Regulation. Regulasi
ini menjadi salah satu solusi bagi kurator untuk menyelesaikan persoalan
kepailitan yang asetnya melintasi batas-batas Negara ASEAN.
Ada kemungkinan ketika
para debitor dinyatakan pailit, diketahui asetnya berada di luar negeri. Masalah
muncul karena secara hukum putusan kepailitan Indonesia tidak berlaku di luar
negeri. Akibatnya, kurator Indonesia kesulitan menjalankan kewajiban mengurus boedel pailit. Begitu pula sebaliknya. Kurator
luar negeri tidak dapat menyita aset debitor luar negeri yang ada di Indonesia.
Tanpa Cross-Border,
hukum kepailitan Indonesia tidak akan berlaku di Negara lain sebagaimana dengan
prinsip sovereignity masing-masing Negara.
Meskipun, Cross Border diyakini dapat menjadi solusi atas sita aset debitor di
luar wilayah Negara, ada beberapa tantangan yang akan dihadapi pasca lahirnya
regulasi ini. Sebut saja tentang Civil Law dan Common Law. Untuk Negara yang
menganut sistem hukum Civil Law, pengadilan bukanlah institusi sebagai
pembentuk UU. Sebaliknya, pengadilan dapat membuat sebuah UU untuk Negara yang
menganut sistem Common Law.
Berdasarkan ulasan di
atas, Penulis mencoba untuk mengulas masalah-masalah yang kerapkali terjadi
sehingga perlu diperbaiki aturannya, yakni :
1.
Penekanan utama adalah terkait tidak
adanya kepastian pelaksanaan Ps. 2 ayat (1) UU Kepailitan mengenai “utang yang
telah jatuh tempo dan dapat ditagih”. Dari sini kita dapat menyimpulkan tidak
ada ukuran yang pasti terhadap pelaksanaan Ps. 2 ayat (1). Pemahaman terhadap
utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih juga tidak sama.
2.
Sebagian hakim niaga tidak memiliki record atau jam terbang keahlian yang
cukup dalam memahami dan mendalami esensi hukum kepailitan, baik di tingkat
Pengadilan Negeri maupun tingkat Mahkamah Agung. Pendidikan calon hakim niaga
dinilai terlalu pendek dan seleksi pemilihan calon hakim niaga tidak jelas.
3.
Tidak ada kepastian hukum tentang jangka
waktu penyelesaian perkara. Permohonan pailit diperiksa dan diputuskan tidak
sesuai dengan waktu yang diwajibkan oleh UU Kepailitan. Salinan putusan kasasi
dan PK di MA selalu dikirimkan tanpa ketentuan waktu yang pasti, dan kurator
tidak memiliki kepastian waktu tentang kapan penanganan kepailitan dan PKPU
dapat dimulai dan diakhiri.
4.
Dalam praktik, terjadi kebingungan
implementasi ladder of creditor’s claim
priority. Tidak ada kepastian hukum terhadap pelaksanaan hak separatis
ketika dihadapkan pada hak tagih pajak dan hak tagih buruh. Juga tidak ada
upaya pembuktian dugaan kreditor fiktif, dan ada pelanggaran pembuktian dalam
hal Pengadilan Niaga mewajibkan “kreditor lain” dalam persidangan.
5.
Pelaksanaan hak mengajukan usulan
perdamaian debitor tidak realistis. Alasannya, hak untuk mengajukan usulan
perdamaian dalam pasal 144 adalah hak debitor pailit, tetapi pengajuan
berdasarkan Ps. 145 UU Kepailitan tidak adil bagi debitor pailit yang masih
memiliki upaya hukum.
6.
Tidak ada kepastian terhadap hak
eksekusi dari kreditor separatis terhadap boedel pailit yang telah dijaminkan
hak kebendaan dihubungkan dengan Ps. 56 dan Ps. 59.
7.
Tidak ada kepastian terhadap
perlindungan kurator dan juga terhadap tata cara perhitungan fee kurator atau
pengurus.
Selain dari masukan
Penulis di atas, ada beberapa hal yang menurut Penulis juga perlu diperhatikan
dan diberi penekanan khusus seperti, tanggung jawab kurator dan perlindungan
hukum kurator. Sejauh mana batasan kesalahan dan kelalain kurator dalam
melaksanakan tugas pengurusan atau pemberesan harta pailit. Di samping kurator
diberi tanggung jawab, juga harus ada perlindungan hukum dalam melaksanakan
tugas.
Lalu, kewenangan
pengurusan dan pemberesan harta pailit antara kurator dan pemegang jaminan. Masalahnya
adalah apabila kreditor separatis menolak menyerahkan agunan kepada kurator. Masalah
ini belum diatur dalam UU Kepailitan. Kemudian, akibat kepailitan terhadap sita
pidana. Dalam Ps. 31 ayat (2) UU Kepailitan, segala penyitaan menjadi hapus
jika terjadi kepailitan terhadap debitor. Tapi dalam prakteknya, hal ini sering
menimbulkan permasalahan jika ada sita pidana atas harta pailit. Permasalahan dimaksud
pernah terjadi antara kurator PT xxx melawan Bareskrim Polri.
Lanjut, peringkat
kreditor agar diatur tegas dalam UU Kepailitan. Permasalahan yang bisa timbul
adalah dalam hal kreditor separatis melakukan eksekusi sendiri benda agunan
dimana harta pailit hanya benda agunan tersebut. Lalu, renvoi prosedur agar
tegas diatur, termasuk jangka waktunya. Dan juga, terkait fee kurator. Dalam Ps.
17 ayat (2) UU Kepailitan, majelis hakim membatalkan putusan pernyataan pailit
menetapkan biaya kepailitan dan imbalan jasa kurator.
Dan yang terakhir
adalah status tagihan kreditor yang dibantah dalam PKPU. UU Kepailitan tidak
secara jelas menentukan nasib kreditor yang dibantah oleh pengurus PKPU. Lalu,
apakah setelah PKPU tercapai perdamaian maka kreditor yang tagihannya dibantah
masih memiliki hak-haknya, atau adakah upaya hukum lain yang diberikan UU
Kepailitan. Karena Ps. 286 UU Kepailitan menyebutkan perdamaian yang telah
disahkan mengikat bagi semua kreditor konkuren.
Komentar
Posting Komentar