Langsung ke konten utama

PAJAK PROGRESIF TERHADAP TANAH "NGANGGUR"

CEGAH SPEKULAN LEWAT PAJAK PROGRESIF TERHADAP TANAH "NGANGGUR


Kali ini, saya akan mencoba untuk membahas tentang keberadaan tanah “Nganggur” yang kerap kali dijadikan investasi oleh masyarakat, namun tidak diberdayakan alias dibiarkan begitu saja.

Seperti yang kita ketahui, harga tanah saat ini banyak yang mengalami kenaikan dan menimbulkan aksi spekulan, padahal tanah itu “menganggur” karena diabaikan oleh pemiliknya sehingga menjadi tidak produktif. Untuk itu, selisih harga tanah hasil spekulan dengan harga tanah yang sebenarnya, bisa dikenakan pajak progresif, agar lahan tersebut secara ekonomis ikut memiliki manfaat.

Semisal, harga tanah Rp. 10 ribu per meter. Apabila dijual di kemudian hari dengan harga Rp. 100 ribu per meter, maka yang Rp. 90 ribu itu diprogresifkan pajaknya supaya orang tidak berspekulasi tanah. Dari sini Penulis beranggapan, Negara mengharapkan setiap kepemilikan tanah di Indonesia bisa memberikan manfaat yang besar bagi pembangunan dan mendorong peningkatan investasi yang bermanfaat bagi penyediaan lapangan kerja dan kegiatan perekonomian. Untuk itu, ide pengenaan tarif pajak progresif ini sedang dirumuskan oleh pemerintah, agar pemanfaatan lahan tidak menciptakan distorsi dan tanah tersebut bisa memberikan nilai lebih dan tingkat produktivitas yang tinggi.

Kita harus mengakui bahwa pengenaan tarif pajam kepada tanah yang “menganggur” bisa saja diterapkan, karena banyak sekali masyarakat yang berinvestasi di lahan, namun pemanfaatannya masih minimal. Pajak progresif terhadap tanah menganggur ini bisa berfungsi sebagai insentif atau disinsentif bagi pemilik lahan agar mau mengolah maupun menggunakan tanah tersebut dengan optimal dan tidak sekedar “menganggur”.

Seperi yang Penulis kutip dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF),  bahwa rencana pengenaan pajak progresif tanah menganggur apabila diterapkan dapat meredam aktivitas spekulan tanah yang selama ini dinilai menyebabkan kecenderungan harga lahan naik. Sekarang ini, banyak spekulan yang menyebabkan penaikan harga tanah menjadi cepat, setiap tahun sekitar 20-25 persen. Sebagai contoh, jika kita punya uang 1 miliar, lalu kita gunakan untuk beli tanah dan “diendapkan” begitu saja, maka beberapa tahun kemudian jika sudah mencapai 2 miliar, lalu kita jual maka kita untung 100 persen. Itu baru contoh 1 orang. Bagaimana jika ada 1000 orang seperti itu, membuat harga tanah melambung tinggi, dan tidak bermanfaat untuk masyarakat luas. Lain halnya jika tanah tersebut dimanfaatkan untuk lahan pertanian, atau kos-kosan, perumahan, perkantoran, dsb.

Dengan adanya kebijakan pajak progresif, dapat menstimulus pemilik tanah agar lebih produktif dan menghasilkan efek pengganda bagi aktivitas ekonomi. Pemanfaatan lahan menganggur tersebut, dapat dilakukan untuk mendorong program satu juta rumah misalnya atau menstimulus kegiatan petani-petani di daerah. Jika dimanfaatkan untuk membangun bisnis, maka kemudian dapat pula menyerap tenaga kerja.

Penulis mencoba untuk mengambil contoh penerapan pajak progresif yang pernah dilakukan oleh Pemprov DKI, melalui Perda DKI Jakarta No.2 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Perda No.8 Tahun 2010 tentang Pajak Kendaraan Bermotor. Perda ini merupakan pelaksanaan dari UU No.28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam perda disebutkan, kendaraan bermotor pertama dikenakan 2% dari dasar pengenaan pajak kendaraan bermotor. Kemudian, nilai pajaknya terus meningkat seiring semakin banyaknya  kendaraan bermotor yang dimiliki. Untuk kendaraan kedua, dikenakan 2,5%, kendaraan ketiga 3% dan kendaraan bermotor keempat 3,5% dari dasar pengenaan pajak kendaraan bermotor.

Apabila pajak progresif tersebut diterapkan kepada para pemilik tanah yang mana tanahnya tidak dimanfaatkan sama sekali alias “menganggur”, maka selain menambah pemasukan Negara, juga mendorong para pemilik tanah untuk lebih memanfaatkan tanahnya masing-masing. Dengan begitu roda perekonomian akan berputar, menyerap tenaga kerja, dan memajukan daerah sekitar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SELAYAMG PANDANG TERHADAP CV (COMMANDITAIRE VENNOOTSCHAP)

PROSEDUR PENDIRIAN CV, SERTA AKIBAT HUKUM KEPADA SEKUTU AKTIF MAUPUN PASIF APABILA CV BERHADAPAN DENGAN HUKUM Selain Perseroan Terbatas, salah satu bentuk usaha yang banyak dibuat di Indonesia adalah CV. CV sendiri adalah singkatan dari Commanditaire Vennootschap . Seperti Perseroan Terbatas, pembuatan CV juga melalui beberapa mekanisme dan perjanjian, tetapi prosesnya lebih mudah jika dibandingkan dengan PT. CV yang dikenal juga dengan istilah Persekutuan Komanditer di Indonesia (Ps. 19 KUHD), merupakan persekutuan yang didirikan oleh satu atau beberapa orang untuk melakukan usaha di bidang yang telah disepakati. Dalam undang-undang dijelaskan jika pendirian CV didirikan oleh seorang atau lebih dimana satu orang bertindak sebagai pemimpin sementara pihak lainnya hanya sebagai penyimpan barang atau modal. CV terdiri dari sekutu aktif / komplementer dan sekutu pasif / komanditer yang perbedaan tanggung jawabnya adalah sebagai berikut : 1.       Sekutu aktif be

PERKARA TUN YANG KANDAS DI DISMISSAL PROCESS

BANYAK PERKARA TUN YANG KANDAS DI DISMISSAL PROCESS KARENA KETIDAK TAHUAN ATAU KEKELIRUAN PARA ADVOKAT / PENGGUGAT Membawa sengketa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tidak selalu berjalan mulus. Ada proses yang harus pertama kali dilewati oleh setiap penggugat yang mendaftarkan perkaranyadi PTUN. Yakni, tahap pemeriksaan persiapan (administrasi) atau dismissal process . Tidak sedikit gugatan tata usaha Negara justru berhenti di tahap ini. Sepanjang catur wulan pertama 2010, PTUN Jakarta mencatat delapan perkara yang kandas pada dismissal process . Rinciannya, empat perkara pada Januari, dua perkara pada Februari, dan masing-masing satu perkara pada Maret dan April. Perkara pajak dan merek termasuk yang terhambat pada tahap ini. Pada dasarnya, dismissal process adalah kewenangan Ketua Pengadilan (PTUN) yang diberikan oleh undang-undang untuk menyeleksi perkara-perkara yang dianggap tidak layak untuk disidangkan oleh majelis. Pasalnya, apabila perkara tersebut

SURAT KETERANGAN KEPEMILIKAN TANAH ATAU SKT

PROSEDUR MENGURUS SURAT KETERANGAN KEPEMILIKAN TANAH ATAU SKT Surat Kepemilikan Tanah (SKT) pada dasarnya menegaskan mengenai riwayat tanah. Surat keterangan riwayat tanah tersebut merupakan salah satu alat bukti tertulis untuk menunjukkan kepemilikan tanah guna kepentingan proses pendaftaran tanah. Secara eksplisit, memang tidak diatur mengenai tata cara untuk memperoleh SKT dalam PP No.24 Tahun 1997. Namun, SKT tidak diperlukan lagi sebagai salah satu syarat dalam pendaftaran tanah. Menurut Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (pada saat itu, Ferry Mursyidan Baldan), Surat Kepemilikan Tanah itu sebetulnya menegaskan riwayat tanah. SKT di perkotaan tidak dibutuhkan lagi menjadi syarat mengurus sertifikat tanah. Surat keterangan riwayat tanah tersebut merupakan salah satu alat bukti tertulis untuk menunjukkan kepemilikan tanah. Bukti kepemilikan itu pada dasarnya terdiri dari bukti kepemilikan atas nama pemegang hak pada waktu berlakunya UU No.5