Norma penting tersebut
adalah sebagaimana tercantum dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No.24 Tahun
2009 yang pada intinya mewajibkan penggunaan Bahasa Indonesia dalam segala nota
kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga Negara, instansi pemerintah
Republik Indonesia, swasta atau perseorangan warga Negara Indonesia. Selain itu,
penggunaan Bahasa Indonesia juga wajib untuk nota kesepahaman atau perjanjian
yang melibatkan pihak asing dalam bentuk dual bahasa.
Konsekuensi
hukum apabila terdapat nota kesepahaman atau perjanjian yang tidak menggunakan
Bahasa Indonesia
Mahkamah Agung
Republik Indonesia telah mengeluarkan putusan terkait permohonan Kasasi yang
dimohonkan oleh NINE AM, Ltd., (tanggal 31 Agustus 2015) yang merupakan suatu
badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum dan berdomisili di Negara bagian
Texas, Amerika Serikat, terhadap PT Bangun Karya Pratama Lestari (PT. BKPL),
suatu perseroan terbatas yang didirikan berdasarkan hukum Negara Republik Indonesia.
Adapun salah satu
pokok perkara antara PT BKPL (penggugat) dengan NINE AM, Ltd. (tergugat) adalah
mengenai permohonan PT BKPL kepada Pengadilan Negeri Jakarta Barat agar
menyatakan batal demi hukum Loan
Agreement yang dibuat antara NINE AM, Ltd. dengan PT BKPL tertanggal 23
April 2010 karena bertentangan dengan Pasal 31 ayat (1) UU No.24 Tahun 2009.
Berdasarkan contoh
kasus di atas yang dikutip dari laman resmi kepaniteraan Mahkamah Agung RI, MA
menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh NINE AM, Ltd., itu artinya secara
hukum MA menyetujui dan menguatkan putusan yang diberikan oleh Pengadilan
Tinggi DKI Jakarta atas perkara dimaksud.
Sebelum mengulas
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat atas sengketa NINE AM. Ltd., melawan PT
BKPL, penulis sebelumnya hendak menguraikan posisi kasus perkara tersebut. Bahwa
PT BKPL selaku peminjam dana, mengikatkan diri dengan NINE AM, Ltd., selaku
pihak yang meminjamkan dana ke dalam suatu perjanjian pinjam meminjam (Loan Agreement) dengan total pinjaman
sebesar US$ 4.422.000, pada tanggal 23 April 2010. Loan Agreement tersebut dibuat dan ditanda tangani dalam bahasa
inggris, sekalipun para pihak sepakat bahwa Loan
Agreement diatur dan tunduk pada hukum Negara Republik Indonesia.
Dalam gugatannya, PT
BKPL mengaku telah menerima seluruh dana pinjaman total sebesar US$ 4.422.000
dari NINE AM, Ltd., tersebut dalam kurun waktu April 2010 – September 2011. PT
BKPL telah membayar hutang pokok beserta bunga total sebesar US$ 3.506.460 dan
deposit sebesar US$ 800.000 kepada NINE AM, Ltd.
Kemudian, dengan dasar
Loan Agreement hanya dibuat dalam
bahasa inggris, karenanya bertentangan dengan Pasal 31 ayat (1) UU No.24 Tahun
2009 yang isinya mewajibkan penggunaan Bahasa Indonesia, maka PT BKPL memohon
kepada Majelis Hakim untuk menyatakan Loan
Agreement tersebut batal demi hukum atau setidak-tidaknya tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat, karena dalam hal ini, syarat sahnya suatu perjanjian,
khusus sebagaimana yang diatur dalam Ps. 1337 KUHPer tidak terpenuhi, yaitu
terdapatnya suatu sebab yang dilarang oleh UU.
Sebagai konsekuensi
dari batalnya Loan Agreement maka
secara hukum posisi PT BKPL dan NINE AM, Ltd., dikembalikan kepada posisi
semula seolah-olah Loan Agreement tidak
pernah ditanda tangani, karenanya PT BKPL meminta kepada Majelis Hakim agar
menyatakan PT BKPL mengembalikan sisa dana yang telah diterima dari NINE AM,
Ltd., yaitu US$ 4.422.000 dikurangi US$ 3.506.460 dan US$ 800.000, yaitu
sebesar US$ 115.040.
Berdasarkan gugatan PT
BKPL tersebut di atas, maka NINE AM, Ltd., pada pokoknya membantah dengan
dalil-dalil sebagai berikut:
1.
Bahwa
penggunaan bahasa inggris dalam Loan
Agreement merupakan kesepakatan para pihak, terbukti dengan tidak adanya
keberatan dari PT BKPL selama proses pembuatan sampai dengan penandatanganan Loan Agreement.
2.
Bahwa
tidak ada satu ketentuan pun dalam UU No.24 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa
terhadap perjanjian yang melibatkan pihak Indonesia yang tidak menggunakan
Bahasa Indonesia akan mengakibatkan perjanjian tersebut batal demi hukum. Selain
itu, pasal 40 UU No.24 Tahun 2009 juga mengatur bahwa ketentuan menggunakan
bahasa Indonesia salah satunya dalam Pasal 31 akan diatur lebih lanjut dalam
Perpres.
Terkait hal tersebut
di atas, NINE AM, Ltd., menyertakan surat dari Kementerian Hukum dan HAM RI
tertanggal 28 Desember 2009 perihal : Permohonan Klarifikasi atas implikasi
dari pelaksanaan UU No.24 Tahun 2009, yang pada pokoknya menyebutkan bahwa: “penandatanganan
perjanjian privat komersial dalam bahasa inggris tanpa disertai versi bahasa Indonesia
tidak melanggar persyaratan kewajiban sebagaimana diatur dalam UU tersebut, dan
tetap sah serta tidak batal atau dapat dibatalkan sampai dengan dikeluarkannya
peraturan presiden sebagaimana diatur dalam pasal 40 UU tersebut.
Terhadap dalil gugatan
dan jawaban dari PT BKPL dan NINE AM, Ltd., Majelis Hakim pada Pengadilan
Negeri Jakarta Barat mempertimbangkan dan memutus sebagai berikut:
1.
Bahwa
pasal 31 ayat (1) UU No.24 Tahun 2009 telah secara tegas mewajibkan Bahasa Indonesia
digunakan dalam perjanjian yang melibatkan lembaga swasta Indonesia. UU No.24
Tahun 2009 mengikat sejak diundangkan yaitu 9 Juli 2009, karenanya setiap
perjanjian yang melibatkan lembaga swasta Indonesia yang tidak menggunakan
bahasa Indonesia bertentangan dengan UU No.24 Tahun 2009.
2.
Bahwa
kalaupun nantinya Perpres yang mengatur pelaksanaan ketentuan ps. 31 ayat (1)
UU No.24 Tahun 2009 diundangkan, Perpres tersebut tidak dapat melumpuhkan kata “wajib”
dalam UU, mengingat Perpres memiliki kedudukan lebih rendah dari UU. Begitupula
surat MENKUMHAM, karena tidak termasuk dalam tata urutan perUUan, maka surat tersebut
tidak melumpuhkan kata “wajib”.
3.
Dengan
demikian, karena Loan Agreement ditanda
tangani setelah UU No.24 Tahun 2009 diundangkan, maka tidak dibuatnya Loan Agreement dalam bahasa Indonesia adalah
bertentangan dengan UU No.24 Tahun 2009 sehingga merupakan perjanjian yang
terlarang karena dibuat dengan sebab yang terlarang (vide ps.1335 Jo. Ps.1337
KUHPer) dan karenanya tidak memenuhi syarat esensialia perjanjian sebagaimana
Ps.1320 KUHPer. Maka Loan Agreement
batal demi hukum.
Penulis mencoba
mengutip dari pendapat Prof. Subekti, S.H., yang menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan sebab atau causa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu
sendiri. Misalnya, seseorang membeli pisau di took dengan maksud untuk membunuh
orang, jual beli pisau tersebut memenuhi unsur causa yang halal seperti halnya
jual beli barang lain. Mengenai motif orang untuk membunuh tersebut tidak
dipedulikan oleh UU, namun lain halnya jika soal membunuh tersebut dimasukkan
dalam perjanjian jual beli pisau, hal demikian membuat perjanjian jual beli
menjadi sesuatu yang dilarang.
Apabila pendapat Prof.
Subekti, S.H., tersebut di atas diaplikasikan dalam Loan Agreement, menurut hemat penulis, perjanjian pinjam meminjam
uang sebagaimana isi Loan Agreement
tidak melanggar syarat keempat sahnya suatu perjanjian. Adapun yang melanggar
UU adalah formalitas dari perjanjian itu sendiri, yaitu penggunaan bahasa
inggris pada perjanjian tanpa dibarengi dengan penggunaan Bahasa Indonesia,
mengingat salah satu pihak beridentitas Indonesia.
Dengan adanya putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Barat di atas yang telah berkekuatan hukum tetap (final and binding) maka merujuk pada
pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat, segala perjanjian
yang dibuat oleh salah satu pihak beridentitas Indonesia tanpa menyertakan
versi Bahasa Indonesia, dimungkinkan untuk dinyatakan batal demi hukum. Namun demikian,
tidak menutup kemungkinan, pandangan penulis di atas diterapkan oleh majelis
hakim lain dengan pokok sengketa serupa, mengingat system yurisprudensi tidak
mutlak digunakan oleh Negara Indonesia sebagai dasar memeriksa dan memutus
suatu perkara sebagaimana dianut oleh Negara penganut common law, sehingga hakim Indonesia tidak terikat untuk mengikuti
putusan hakim lain dalam memeriksa dan memutus suatu perkara.
Dengan tetap
dimungkinkannya seorang hakim Indonesia mendasarkan argumentasi hukumnya kepada
putusan hakim lain (yang telah berkekuatan hukum tetap) untuk perkara yang
sama, maka penting bagi para pelaku usaha dalam meminimalisir permasalahan
hukum di kemudian hari, untuk segera membuat dan menandatangani versi bahasa Indonesia
atas perjanjian-perjanjian berbahasa inggris yang telah ditanda tangani setelah
UU No.24 Tahun 2009 diundangkan dalam hal salah satu pihak berdomisili dan
didirikan berdasarkan hukum Indonesia. Serta, memastikan perjanjian yang akan
ditanda tangani menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa inggris atau bahasa
lain.
Komentar
Posting Komentar