Langsung ke konten utama

Serba-serbi Perjanjian Di Indonesia dengan Bahasa Asing

PERJANJIAN DENGAN MENGGUNAKAN BAHASA INGGRIS (TANPA VERSI BAHASA INDONESIA) ADALAH BATAL DEMI HUKUM


Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan Negara Republik Indonesia, merupakan payung hukum dari manifestasi kebudayaan yang berakar pada sejarah perjuangan bangsa, kesatuan dalam keragaman budaya, dan kesamaan dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Masyarakat banyak yang berpikir, bahwa berlakunya UU No.24 Tahun 2009 adalah hanya mengenai kebudayaan dan kebangsaan serta perjuangan saja. Namun demikian, ternyata UU No.24 Tahun 2009 mengatur norma penting bagi hukum keperdataan di Indonesia.



Norma penting tersebut adalah sebagaimana tercantum dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No.24 Tahun 2009 yang pada intinya mewajibkan penggunaan Bahasa Indonesia dalam segala nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga Negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, swasta atau perseorangan warga Negara Indonesia. Selain itu, penggunaan Bahasa Indonesia juga wajib untuk nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan pihak asing dalam bentuk dual bahasa.

Konsekuensi hukum apabila terdapat nota kesepahaman atau perjanjian yang tidak menggunakan Bahasa Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia telah mengeluarkan putusan terkait permohonan Kasasi yang dimohonkan oleh NINE AM, Ltd., (tanggal 31 Agustus 2015) yang merupakan suatu badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum dan berdomisili di Negara bagian Texas, Amerika Serikat, terhadap PT Bangun Karya Pratama Lestari (PT. BKPL), suatu perseroan terbatas yang didirikan berdasarkan hukum Negara Republik Indonesia.

Adapun salah satu pokok perkara antara PT BKPL (penggugat) dengan NINE AM, Ltd. (tergugat) adalah mengenai permohonan PT BKPL kepada Pengadilan Negeri Jakarta Barat agar menyatakan batal demi hukum Loan Agreement yang dibuat antara NINE AM, Ltd. dengan PT BKPL tertanggal 23 April 2010 karena bertentangan dengan Pasal 31 ayat (1) UU No.24 Tahun 2009.

Berdasarkan contoh kasus di atas yang dikutip dari laman resmi kepaniteraan Mahkamah Agung RI, MA menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh NINE AM, Ltd., itu artinya secara hukum MA menyetujui dan menguatkan putusan yang diberikan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta atas perkara dimaksud.

Sebelum mengulas Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat atas sengketa NINE AM. Ltd., melawan PT BKPL, penulis sebelumnya hendak menguraikan posisi kasus perkara tersebut. Bahwa PT BKPL selaku peminjam dana, mengikatkan diri dengan NINE AM, Ltd., selaku pihak yang meminjamkan dana ke dalam suatu perjanjian pinjam meminjam (Loan Agreement) dengan total pinjaman sebesar US$ 4.422.000, pada tanggal 23 April 2010. Loan Agreement tersebut dibuat dan ditanda tangani dalam bahasa inggris, sekalipun para pihak sepakat bahwa Loan Agreement diatur dan tunduk pada hukum Negara Republik Indonesia.

Dalam gugatannya, PT BKPL mengaku telah menerima seluruh dana pinjaman total sebesar US$ 4.422.000 dari NINE AM, Ltd., tersebut dalam kurun waktu April 2010 – September 2011. PT BKPL telah membayar hutang pokok beserta bunga total sebesar US$ 3.506.460 dan deposit sebesar US$ 800.000 kepada NINE AM, Ltd.

Kemudian, dengan dasar Loan Agreement hanya dibuat dalam bahasa inggris, karenanya bertentangan dengan Pasal 31 ayat (1) UU No.24 Tahun 2009 yang isinya mewajibkan penggunaan Bahasa Indonesia, maka PT BKPL memohon kepada Majelis Hakim untuk menyatakan Loan Agreement tersebut batal demi hukum atau setidak-tidaknya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, karena dalam hal ini, syarat sahnya suatu perjanjian, khusus sebagaimana yang diatur dalam Ps. 1337 KUHPer tidak terpenuhi, yaitu terdapatnya suatu sebab yang dilarang oleh UU.

Sebagai konsekuensi dari batalnya Loan Agreement maka secara hukum posisi PT BKPL dan NINE AM, Ltd., dikembalikan kepada posisi semula seolah-olah Loan Agreement tidak pernah ditanda tangani, karenanya PT BKPL meminta kepada Majelis Hakim agar menyatakan PT BKPL mengembalikan sisa dana yang telah diterima dari NINE AM, Ltd., yaitu US$ 4.422.000 dikurangi US$ 3.506.460 dan US$ 800.000, yaitu sebesar US$ 115.040.

Berdasarkan gugatan PT BKPL tersebut di atas, maka NINE AM, Ltd., pada pokoknya membantah dengan dalil-dalil sebagai berikut:

1.    Bahwa penggunaan bahasa inggris dalam Loan Agreement merupakan kesepakatan para pihak, terbukti dengan tidak adanya keberatan dari PT BKPL selama proses pembuatan sampai dengan penandatanganan Loan Agreement.

2.    Bahwa tidak ada satu ketentuan pun dalam UU No.24 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa terhadap perjanjian yang melibatkan pihak Indonesia yang tidak menggunakan Bahasa Indonesia akan mengakibatkan perjanjian tersebut batal demi hukum. Selain itu, pasal 40 UU No.24 Tahun 2009 juga mengatur bahwa ketentuan menggunakan bahasa Indonesia salah satunya dalam Pasal 31 akan diatur lebih lanjut dalam Perpres.

Terkait hal tersebut di atas, NINE AM, Ltd., menyertakan surat dari Kementerian Hukum dan HAM RI tertanggal 28 Desember 2009 perihal : Permohonan Klarifikasi atas implikasi dari pelaksanaan UU No.24 Tahun 2009, yang pada pokoknya menyebutkan bahwa: “penandatanganan perjanjian privat komersial dalam bahasa inggris tanpa disertai versi bahasa Indonesia tidak melanggar persyaratan kewajiban sebagaimana diatur dalam UU tersebut, dan tetap sah serta tidak batal atau dapat dibatalkan sampai dengan dikeluarkannya peraturan presiden sebagaimana diatur dalam pasal 40 UU tersebut.


Terhadap dalil gugatan dan jawaban dari PT BKPL dan NINE AM, Ltd., Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Barat mempertimbangkan dan memutus sebagai berikut:

1.    Bahwa pasal 31 ayat (1) UU No.24 Tahun 2009 telah secara tegas mewajibkan Bahasa Indonesia digunakan dalam perjanjian yang melibatkan lembaga swasta Indonesia. UU No.24 Tahun 2009 mengikat sejak diundangkan yaitu 9 Juli 2009, karenanya setiap perjanjian yang melibatkan lembaga swasta Indonesia yang tidak menggunakan bahasa Indonesia bertentangan dengan UU No.24 Tahun 2009.

2.    Bahwa kalaupun nantinya Perpres yang mengatur pelaksanaan ketentuan ps. 31 ayat (1) UU No.24 Tahun 2009 diundangkan, Perpres tersebut tidak dapat melumpuhkan kata “wajib” dalam UU, mengingat Perpres memiliki kedudukan lebih rendah dari UU. Begitupula surat MENKUMHAM, karena tidak termasuk dalam tata urutan perUUan, maka surat tersebut tidak melumpuhkan kata “wajib”.

3.    Dengan demikian, karena Loan Agreement ditanda tangani setelah UU No.24 Tahun 2009 diundangkan, maka tidak dibuatnya Loan Agreement dalam bahasa Indonesia adalah bertentangan dengan UU No.24 Tahun 2009 sehingga merupakan perjanjian yang terlarang karena dibuat dengan sebab yang terlarang (vide ps.1335 Jo. Ps.1337 KUHPer) dan karenanya tidak memenuhi syarat esensialia perjanjian sebagaimana Ps.1320 KUHPer. Maka Loan Agreement batal demi hukum.

Penulis mencoba mengutip dari pendapat Prof. Subekti, S.H., yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan sebab atau causa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri. Misalnya, seseorang membeli pisau di took dengan maksud untuk membunuh orang, jual beli pisau tersebut memenuhi unsur causa yang halal seperti halnya jual beli barang lain. Mengenai motif orang untuk membunuh tersebut tidak dipedulikan oleh UU, namun lain halnya jika soal membunuh tersebut dimasukkan dalam perjanjian jual beli pisau, hal demikian membuat perjanjian jual beli menjadi sesuatu yang dilarang.

Apabila pendapat Prof. Subekti, S.H., tersebut di atas diaplikasikan dalam Loan Agreement, menurut hemat penulis, perjanjian pinjam meminjam uang sebagaimana isi Loan Agreement tidak melanggar syarat keempat sahnya suatu perjanjian. Adapun yang melanggar UU adalah formalitas dari perjanjian itu sendiri, yaitu penggunaan bahasa inggris pada perjanjian tanpa dibarengi dengan penggunaan Bahasa Indonesia, mengingat salah satu pihak beridentitas Indonesia.

Dengan adanya putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat di atas yang telah berkekuatan hukum tetap (final and binding) maka merujuk pada pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat, segala perjanjian yang dibuat oleh salah satu pihak beridentitas Indonesia tanpa menyertakan versi Bahasa Indonesia, dimungkinkan untuk dinyatakan batal demi hukum. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan, pandangan penulis di atas diterapkan oleh majelis hakim lain dengan pokok sengketa serupa, mengingat system yurisprudensi tidak mutlak digunakan oleh Negara Indonesia sebagai dasar memeriksa dan memutus suatu perkara sebagaimana dianut oleh Negara penganut common law, sehingga hakim Indonesia tidak terikat untuk mengikuti putusan hakim lain dalam memeriksa dan memutus suatu perkara.

Dengan tetap dimungkinkannya seorang hakim Indonesia mendasarkan argumentasi hukumnya kepada putusan hakim lain (yang telah berkekuatan hukum tetap) untuk perkara yang sama, maka penting bagi para pelaku usaha dalam meminimalisir permasalahan hukum di kemudian hari, untuk segera membuat dan menandatangani versi bahasa Indonesia atas perjanjian-perjanjian berbahasa inggris yang telah ditanda tangani setelah UU No.24 Tahun 2009 diundangkan dalam hal salah satu pihak berdomisili dan didirikan berdasarkan hukum Indonesia. Serta, memastikan perjanjian yang akan ditanda tangani menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa inggris atau bahasa lain.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALAT BUKTI REKAMAN

APAKAH REKAMAN YANG DILAKUKAN DENGAN DIAM-DIAM DAPAT DIJADIKAN SEBAGAI ALAT BUKTI? Rekaman suara yang dibuat dengan aplikasi perekam suara ( voice memo atau voice record ) yang ada di telepon seluler ( smartphone ) termasuk dalam kategori Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Ps.1 angka 4 UU No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi : “ Dokumen Elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya ”. Sehingga, berdasarkan bunyi pasal d...

PIDANA BERSYARAT (PIDANA PERCOBAAN) DAN VONIS HAKIM YANG LEBIH TINGGI DARI TUNTUTAN JAKSA

MENGENAL TENTANG PIDANA BERSYARAT (PIDANA PERCOBAAN) DAN JUGA TENTANG APAKAH VONIS HAKIM BOLEH LEBIH TINGGI DARI TUNTUTAN JAKSA ATAU TIDAK Pengantar Baru-baru ini, publik sempat dihebohkan dengan “skenario” dari persidangan Basuki Tjahja Purnama alias Ahok yang dipidana atas kasus penistaan agama dengan melanggar Ps. 156a KUHP, yakni secara sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama. Namun yang hendak Penulis ulas dalam artikel ini, bukanlah mengenai teknis dari kasus Ahok maupun “skenario-skenario” dalam panggung politik tersebut. Akan tetapi, yang lebih menarik untuk dibahas adalah tentang apakah yang dimaksud dengan pidana bersyarat dan apakah vonis yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim boleh lebih tinggi atau tidak dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Tentang Pidana Bersyarat Seperti yang telah kita ketahui, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama alias Ahok divonis ...

ATURAN PARTAI POLITIK DALAM MENDIRIKAN KOPERASI

ATURAN TERHADAP  PARTAI POLITIK DALAM MENDIRIKAN KOPERASI Di era globalisasi seperti sekarang ini, merupakan hal yang lumrah untuk mencari pendapatan tambahan, mengingat kebutuhan hidup yang kian hari kian bertambah. Tidak sedikit orang-orang demi mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, mencari penghasilan tambahan di luar pekerjaannya, meskipun ada yang memang sekedar untuk menambah penghasilan, dan juga ada yang karena dasar “moral” maka mencoba menciptakan suatu peluang usaha guna menyerap tenaga kerja dan mampu menambah penghasilan mereka. Sebagai contoh adalah mendirikan Koperasi. Namun bahasan dalam artikel ini, dipersempit terhadap anggota partai politik yang hendak mendirikan Koperasi. Sebelum membahas lebih lanjut, alangkah lebih baik kita ulas terlebih dahulu tentang koperasi dan partai politik. Pengertian Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekal...